JAKARTA – Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyatakan, Undang-Undang Dasar (UUD) bukanlah jimat yang bersifat tetap. UUD bukan untuk dikeramatkan, melainkan dilaksanakan. Karena itu, UUD bisa berubah sesuai kebutuhan masyarakat.
JK menyampaikan itu dalam diskusi bertajuk “Mengkaji Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Apakah Sudah Baik?”, di gedung MPR, Senayan, Jakarta, Selasa (18/8). Diskusi ini diselenggarakan MPR untuk memperingati hari konstitusi.
Menurutnya, perubahan UUD adalah suatu keniscayaan yang bisa berubah karena dinamika bangsa. “Yang tak berubah falsafah bangsa itu tentang Pancasila, NKRI, dan sistem yang disusun bersama. Artinya, UUD suatu negara bukanlah jimat yang bersifat tetap,” kata JK.
Ia menjelaskan, UUD 1945 sudah mengalami empat kali perubahan. Pasca-Reformasi, terdapat perubahan fundamental yang mendorong terbentuknya pemerintahan demokratis, memperbanyak peranan daerah. Perubahan UUD lainnya dalah tidak ada lagi lembaga tertinggi seperti era Orde.
Ia berpendapat, hal ini agar ada check and balances antara kekuasaan. “Kita tahu semua pada zaman Orde Baru, MPR dengan mayoritas partai bisa buat apa,” ujarnya.
Perubahan UUD tidak hanya terjadi dari sisi politik hukum, tetapi terdapat perubahan sistem ekonomi. Pasca-Reformasi otonomi daerah diperkuat. Sebagian kewenangan pemerintah pusat dialihkan ke daerah. Selain itu, amendemen UUD tidak mudah dilakukan seperti mengubah sebuah UU.
Untuk mengubah UU hanya perlu kesepakatan pemerintah dan 560 anggota DPR. Mengubah UUD harus melalui beberapa tahapan dan siding MPR. “Amendemen UUD harus disetujui dua pertiga anggota MPR. UUD bisa berubah, tapi tidak gampang,” ucapnya.
JK menyatakan, di Thailand amendemen konstitusi dilakukan setiap pergantian pemerintahan. Begitu juga Malaysia yang mengamendemen UUD sesuai kepentingan rakyatnya.
Ketua MPR Zulkifli Hasan mengatakan, UUD harus menjadi konstitusi yang hidup dan bekerja serta menyesuaikan kebutuhan zaman. Ia memaparkan, reformasi telah membawa perubahan fundamental dalam sistem ketatanegaraan. MPR menginginkan sistem ketatanegaraan yang kuat sesuai amanah konstitusi.
“Jadi, peran MPR tak hanya soal tatanegara, tetapi juga majelis kebangsaan untuk mewujudkan kehidupan yang baik,” katanya.
Ketua Umum PAN ini menjelaskan, konstitusi harus bisa menyesuaikan kondisi kekinian sehingga perlu dipikirkan apakah sistem tata negara sudah ideal atau belum. “Apakah gerak bangsa ini sudah sesuai yang diharapkan bangsa? Sistem ketatanegaraan masih berporses menuju yang ideal. Kondisi ideal adalah sistem demokrasi yang modern serta konstitusi yang tidak menanggalkan paham keindonesiaan,” tuturnya.
Megawati Soekarnoputri mengatakan, kondisi perundang-undangan di Indonesia masih berantakan. Ia mencontohkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengarah atau menyerupai hukum milik Belanda.
“Perundangan ini sudah amburadul. Sebelum merdeka memakai UU Belanda, sekarang banyak yang termaktub di KUHP,” ucap Megawati.
Menurutnya, hal ini menjadi permasalahan lantaran Belanda telah melakukan reformasi ketatanegaraan dan hukum. Bahkan, beberapa aturan yang masih dipakai di Indonesia tidak lagi digunakan di Belanda. Menurutnya, sudah saatnya DPR memperbaiki ketatanegaraan dan hukum di Indonesia.
“Banyak perundangan di Indonesia tidak digunakan lagi di Belanda. Kenapa tidak melakukan kajian?” ucapnya.
Di sisi lain, ia mempertanyakan MPR yang tidak kembali menginisiasi pembuatan Garis Besar Hukum Negara (GBHN). GBHN seharusnya menjadi panduan, membuat program pemerintahan tidak berkelanjutan bila rezim berganti.
“Sekarang hanya ada visi. Visi itu apa? Kalau berganti, ya sudah. Selesai (pembangunan). Dengan tata pemerintahan negara yang seperti itu, MPR hadir sebagai tempat dari kedaulatan rakyat. Atas kedudukan ini, MPR merupakan lembaga negara tertinggi dengan salah satu kewenangan adalah menyusun GBHN,” ucapnya.
Sumber: http://www.sinarharapan.co/news/read/150819061/wapres-uud-bukan-untuk-dikeramatkan