Era Reformasi diharapkan menjadi titik balik kehidupan demokrasi yang lebih baik. Semua pihak mengharapkan demokrasi yang berkeadilan dan berkesejahteraan. Namun, seiring perjalanannya reformasi malah menjadi pintu masuk bagi para neoliberal. Konstitusi negara tergadaikan hingga hampir punah.
Hal itu tersirat dalam pernyataan sejumlah tokoh saat silaturahmi Gerakan Pemantapan Pancasila, di Gedung Granadi, Jakarta, Selasa (18/8). Mereka memandang Pancasila dan UUD 1945 tidak lagi menjadi pegangan hidup masyarakat Indonesia saat ini.
Sekjen Gerakan Pemantapan Pancasila, Saiful Sulun, mengatakan era Reformasi yang tadinya sebagai gerakan untuk mengoreksi era Orde Baru, ternyata tidak bisa berbuat banyak. Malah Indonesia terkesan tidak mandiri dan tidak bermatabat. Nilai-nilai konstitusi sebagai dasar negara sudah tidak diterapkan. “Zaman Soeharto nilai-nilai Pancasila diterapkan. Sekarang sudah tidak sama sekali,” ucapnya.
Dewan Pembina Gerakan Pemantapan Pancasila, Jenderal (Purn) Try Sutrisno mengatakan, setelah mengalami empat kali amendemen, UUD 1945 tidak sesuai lagi dengan kondisi kehidupan bangsa dan negara, sehingga menjadi semakin sulit. “UUD 1945 mengalami empat kali perubahan dari 1999 sampai 2002. System pemerintahan negara kita sudah tidak sesuai sistem sendiri yang asli atau sistem MPR,” ujarnya.
Wakil Presiden ke-6 RI ini mengatakan, ia sempat bersyukur saat MPR periode 2009-2014 telah menyampaikan rekomendasi kepada MPR 2014-2015 agar membentuk lembaga pengkajian untuk mempelajari kembali sistem pemerintahan negara, sebagai akibat amendemen 1945. Rasa syukur itu atas dasar kenyataan saat yang secara objektif sudah tidak tepat lagi, sehingga perlu segara mengambil langkah baru.
Tanpa Aktualisasi
Ekonom Sri Edy Swasono mengatakan, melemahnya konsitusi karena kurikulum fakultas ekonomi di hampir semua universitas berparadigma ekonomi liberal. Alhasil, ekonomi tidak sesuai konstitusi, apalagi cita-cita kemerdekaan. Karena itu, upaya membumikan kembali nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 harus digenjot secara akademis dan sistematis.
“Pernyataan kemerdekaan Indonesia hanya sebatas pernyataan budaya, untuk bisa jadi tuan di negeri sendiri, setelah ratusan tahun jadi kuli di negeri sendiri. Namun, celakanya Indonesia tidak mampu menjadi tuan di negeri sendiri. Indonesia nurut dengan IMF dan asing,” katanya.
Lebih lagi, saat ini terdapat 115 undang-undang yang tidak berpihak kepada rakyat. Di bidang ekonomi saja ada 25 undang-undang yang bertentangan dengan Pancasila.
Budayawan Indra Tranggono mengatakan, surutnya aktualisasi Pancasila saat ini karena menguatnya liberalisasi di segala bidang. Liberalisasi membuat negara seolah menjadi rumah tanpa pintu dan penjaga. Dengan mudah, kekuatan kapitalisme global masuk dan melebur dengan rakyat. Masyarakat menjadi konsumen dan entitas besar tanpa identitas kultural atau jati diri. Negara berubah menjadi pasar bebas.
Menurut Indra, masyarakat sudah kehilangan orientasi nilai atas lembaga negara yang sejatinya harus melindungi rakyat. Negara justru hadir sebagai panitia pasar bebas. Peran negara berubah menjadi sekadar penyelenggara negara dan membiarkan rakyat bertarung sendirian melawan kekuatan kapitalisme global.
“Demokrasi liberal yang dijanjikan mewujudkan civil society yang kuat ternyata telah dibajak penguasa politik dan pemilik modal untuk memperkuat kelompok elite. Demokrasi yang berjalan saat ini adalah demokrasi transaksional,” tuturnya.
Lunturnya nilai-nilai Pancasila karena sudah direduksi dari dasar negara menjadi pilar negara. Rakyat menjadi tersekat-sekat secara SARA maupun etnisitas lainnya. Hilangnya semangat gotong royong, kebebasan pers yang overdosis, demokrasi transaksional, dan penguatan media sosial yang berlebihan menghilangkan kultur tatap muka dan tegur sapa.
“Belum lagi muncul sikap pragmatisme dan korupsi. Ke depan Indonesia akan menciptakan masyarakat yang individualistis,” ujarnya.
Rohaniawan Sulastomo, mengatakan pasca-Reformasi, pemerintah belum bisa menemukan kondisi yang ideal. Upaya mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia malah menghadapi ketimpangan sosial yang semakin melebar. Jati diri bangsa sedang dipertaruhkan. Indonesia masa depan bisa jadi Indonesia yang tidak sesuai cita-cita pendiri bangsa. Tentu ini tantangan besar dan bisa berbahya kalau tak diantisipasi dengan baik.
Sumber: http://sinarharapan.co/news/read/150819063/tanpa-pancasila-indonesia-bagai-rumah-tanpa-penjaga2