Konsep Open Legal Policy Perlu Dikoreksi
Kamis, 20 Agustus 2015
| 06:44 WIB
YOGYA (KRjogja.com) - Peran DPR dalam rekruitmen pejabat publik seperti komisioner Komisi Yudisial (KY) atau komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) cukup sebatas memberikan persetujuan (legitimasi formal) saja, tanpa harus masuk ke ranah teknis (fit n proper test). Jika DPR melakukan sendiri fit n proper test, konsekuensinya akan terjadi transaksi politik dan calon yang kompeten, berintegritas namun tidak punya dukungan politik, berpotensi tidak disetujui.
"Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tetap mengizinkan DPR memilih sendiri komisioner KPK harus dibatalkan," kata pemohon pengujian Undang-Undang KY dan KPK Sri Hastuti Puspitasari SH MH saat Eksaminasi Putusan MK Nomor 16/PUU-XII/2014 berkaitan dengan kewenangan DPR dalam proses pengisian jabatan komisioner KY dan KPK di Auditorium Pascasarjana Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia (UII) Jl Cik Ditiro Yogyakarta, Rabu (19/8/2015). Eksaminator lainnya adalah Pakar Hukum Tata Negara UII Dr Saifudin SH MHum dan Ketua KY Suparman Marzuki.
Sri Hastuti juga mengkritisi keputusan MK yang menolak permohonan juducial review UU KPK khususnya tentang pengisian jabatan komisioner KPK, hanya karena UU tersebut lahir dari open legal policy dan tidak diatur secara tegas dalam UUD NKRI 1945. Padahal UU yang lahir dari open legal policy juga bisa berpotensi melanggar UUD dan hak konstitusi warga negara. "Konsep open legal policy ini perlu dikoreksi," katanya. Dengan memakai dalih open legal policy, maka MK hanya memakai pendekatan penafsiran yang bisa sangat beragam.
Saifudin menilai tampaknya MK lebih menggunakan pola pendekatan penafsiran internal dibandingkan pola penafsiran eksternal. Menurut Saifudin, seharusnya MK berani menggunakan pendekatan penafsiran ekternal terkait materi pengujian UU yang mempunyai kepentingan konstitusional. "Pendekatan penfsiran ekternal sisi kemanfaatannya jauh lebih besar dalam membangun bangsa," katanya.
Sedangkan Suparman Marzuki mengatakan, dengan adanya putusan MK yang menempatkan DPR sebagai pemberi persetujuan saja dalam pengisian jabatan komisioner KY tersebut, sekalipun masih membuka celah DPR tidak menyetujui satu atau lebih calon hakim agung, tetapi menutup kemungkinan lolosnya calon yang tidak layak menjadi hakim agung. Selain itu lebih menajamkan kompetensi dan memungkinkan KY dan DPR memilih hakim agung yang memiliki integritas dan kompetensi. (R-2)
Sumber: http://krjogja.com/read/271540/konsep-open-legal-policy-perlu-dikoreksi.kr