Sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU Rusun) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (19/8), di Ruang Sidang MK. Empat orang pemilik satuan rumah susun (sarusun) Eva Kristanti, Rusli Usman, Danang Surya Winata dan Ikhsan, tercatat menjadi Pemohon dalam perkara yang terdaftar dengan Nomor 85/PUU-XIII/2015 tersebut.
Kuasa hukum Pemohon Muhammad Joni menjelaskan, telah melakukan perbaikan permohonan dengan menguraikan lebih lanjut kedudukan hukum para Pemohon sesuai dengan saran Majelis Hakim dalam sidang sebelumnya. “Dalam hal ini sebagai perorangan Warga Negara Indonesia dan mengkaitkannya dengan kepentingan konstitusional yang terganggu atau dirugikan akibat daripada endapan norma Undang-Undang Rumah Susun, yang dalam hal ini kami ajukan permohonan Yang Mulia,” jelas Joni, di hadapan Panel Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Aswanto.
Joni juga menjelaskan, telah menguraikan kerugian konstitusional para Pemohon dengan mengkaitkannya dengan pasal-pasal yang diujikan. “Kami sudah menguraikan lebih lanjut perihal kerugian konstitusional Para Pemohon yang dalam hal ini Pemohon I, II, III, dan IV berkaitan dengan pasal-pasalnya dan sedapat mungkin kami mengaitkannya dengan analisis juridis konstitusional dan UndangUndang Dasar Tahun 1945, serta jurisprudensi Mahkamah Konstitusi,” kata Joni.
Sebelumnya dalam pokok permohonan, para Pemohon merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya beberapa pasal dalam UU Rusun, di antaranya Pasal 1 angka 21; Pasal 59 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4); Pasal 60; Pasal 74 ayat (1) dan ayat (2); Pasal 75 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4); Pasal 76; dan Pasal 77 ayat (2).
Para Pemohon menilai, kata ‘para’ dalam frasa ‘para pemilik atau penghuni sarusun’ dalam Pasal 1 angka 21 UU Rusun, tidak jelas dan menimbulkan ketidakpastian hukum, serta mengancam perlindungan harta benda dan hak milik pribadi para Pemohon yang dijamin dalam UUD 1945. Menurut Pemohon, penggunaan kata ‘para’ dapat berarti hanya sebagian atau sebagian besar sehingga mengakibatkan tidak semua pemilik menjadi anggota PPPSRS. Hal ini merugikan pemilik karena membuka celah bagi terbentuknya PPPSRS lain, sehingga PPPSRS tidak menjadi badan hukum tunggal dalam pengelolaan rumah susun/apartemen.
Kemudian, ada perbedaan dan ketidakkonsistenan norma hukum pada Pasal 59 ayat (1) dikaitkan dengan Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU Rusun yang menentukan ‘masa transisi’ adalah masa ketika sarusun belum seluruhnya terjual. Ketentuan yang tidak konsisten itu merugikan para Pemohon dan bertentangan dengan Pasal 59 ayat (2) UU Rusun yang menentukan bahwa masa transisi ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak penyerahan pertama kali. Para pemohon menganggap, frasa ‘paling lama 1 (satu) tahun’ menafikan tanggung jawab produk pelaku pembangunan, sehingga ketentuan Pasal 59 ayat (2) UU Rusun sepanjang frasa ‘paling lambat 1 (satu) tahun’ adalah ketentuan yang tidak adil dan menjustifikasi lepasnya tanggung jawab pelaku pembangunan atas produknya. (Lulu Anjarsari)