Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU Lalu Lintas) dengan agenda perbaikan permohonan pada Rabu (19/8) siang. Pemohon melalui kuasa hukumnya Muhammad Ainul Yaqin dan Erwin Natosmal Oemar kemudian menyampaikan kepada Majelis Hakim mengenai sejumlah perbaikan permohonan.
Di awal persidangan, Yaqin terlebih dahulu menyampaikan informasi terkait perubahan jumlah kuasa hukum. Menurutnya, ada tiga kuasa hukum Pemohon yang mengundurkan diri dan terdapat penambahan dua kuasa hukum baru.
“Kuasa hukum yang baru masuk, saya sendiri Muhammad Ainul Yaqin dan Ali Akbar Tanjung. Sedangkan yang mundur adalah Erna Ratnaningsih, Ridwan Bakar dan Donald Faris,” ucap Yaqin, salah satu kuasa hukum Pemohon dalam perkara nomor 89/PUU-XIII/2015 tersebut.
Yaqin kemudian menyampaikan telah melakukan perbaikan permohonan terhadap pokok permohonan dan kedudukan hukum Pemohon. Menurut Yaqin, Pemohon menghapus Pasal 72 ayat (1) dan ayat (3) UU Lalu Lintas sebagai objek permohonan sesuai dengan arahan Majelis Hakim pada sidang sebelumnya. Pemohon juga menghapus petitum-nya yang terkait Pasal 72 ayat (1) dan ayat (3) UU Lalu Lintas.
Perbaikan permohonan berikutnya, mengenai kedudukan hukum Pemohon. Perbaikan dilakukan dengan menghubungkan kerugikan konstitusional dengan kedudukan hukum Pemohon. Misalnya saja kerugian konstitusional yang dihadapi salah satu Pemohon Hari Kurniawan. Pemohon yang merupakan penyandang disabilitas, telah beberapa kali mencoba mengikuti tes pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM) D, khusus penyandang disabilitas, namun tidak kunjung mendapat SIM. “Namun sampai saat ini tidak bisa diperkenankan untuk mendapatkan SIM D dengan berbagai macam alasan,” kata Erwin Natosmal Oemar, yang juga kuasa hukum Pemohon.
Hakim Konstitusi Patrialis Akbar kemudian memberikan tanggapannya terhadap perbaikan permohonan yang dilakukan Pemohon, khususnya terkait kewenangan Polri dalam menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor serta penerbitan SIM. “Bukankah kepolisian melakukan tugas-tugas itu berdasarkan peraturan perundang-undangan? Apakah ini memang kemauan kepolisian? Ini resmi ya. Jangan sampai permohonan Pemohon melakukan suatu penilaian kelembagaan dalam praktik. Padahal kita ingin melihat persoalan konstitusionalitas,” ujar Patrialis, di Ruang Sidang Pleno MK.
Seperti diketahui, para Pemohon adalah Alissa Q. Munawaroh Rahman (Pemohon I), Hari Kurniawan (Pemohon II), Malang Corruption Watch yang diwakili Ketua Badan Pengurus Lutfi J. Kurniawan (Pemohon III), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia yang diwakili Ketua Badan Pengurus Alvon Kurnia Palma (Pemohon IV), Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah yang diwakili Ketua Umum Dahnil Anzhar.
Norma-norma yang diujikan para Pemohon yaitu Pasal 15 ayat (2) huruf b dan huruf c UU Polri, serta Pasal 64 ayat (4) dan ayat (6), Pasal 67 ayat (3), Pasal 68 ayat (6), Pasal 69 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 72 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 75, Pasal 85 ayat (5), Pasal 87 ayat (2) dan Pasal 88 UU Lalu Lintas. Secara umum, ketentuan-ketentuan tersebut terkait dengan kewenangan Polri untuk menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor, serta memberikan surat izin mengemudi (SIM) kendaraan bermotor.
Menurut Pemohon, sesuai dengan Pasal 30 ayat (4) UUD 1945, Polri merupakan alat negara yang menjaga, keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. Hal ini berarti fungsi Polri adalah menjaga keamanan dan ketertiban. Sedangkan tugasnya yaitu melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum, untuk mendukung fungsi menjaga keamanan dan ketertiban. Sehingga Pemohon beranggapan, kewenangan Polri untuk menerbitkan SIM bukan merupakan bukan bagian dari menjaga keamanan dan ketertiban. Pemohon mendalilkan, dalam pembagian administrasi pemerintahan yang baik, maka wewenang mengeluarkan, mengatur, menjalankan dan menindak, seharusnya tidak berada pada instansi yang sama.
“Adapun mengenai penerbitan SIM, jelas menurut kami bukan bagian dari menjaga keamanan dan ketertiban, dalam pembagian administrasi pemerintahan yang baik, wewenang mengeluarkan, mengatur, menjalankan, dan menindak, seharusnya tidak berada pada instansi yang sama,” ujar Julius Ibrani didampingi kuasa hukum Pemohon lainnya Erwin Natosmal Oemar pada sidang perdana (6/8).
Pemohon juga menyatakan, dalam sejarahnya kewenangan penerbitan SIM serta registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor tidak diberikan kepada kepolisian. Dulunya, lanjut Pemohon, kewenangan menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor diberikan kepada kepala daerah. Bahkan, Kewenangan pengurusan SIM di berbagai negara dilakukan oleh departemen atau kementerian transportasi dan angkutan darat. Untuk itu, Pemohon berkesimpulan pengaturan fungsi dan tugas kepolisian dalam UU Polri bertentangan dengan Pasal 30 ayat (4) UUD 1945. (Nano Tresna Arfana)