Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (UU Tenaga Kesehatan) kembali digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang perkara yang teregistrasi dengan Nomor 88/PUU-XIII/2015 ini dilakukan secara jarak jauh melalui video conference. Pemohon Srijanto kemudian memaparkan pokok permohonanya kepada Majelis Hakim Sidang Panel yang dipimpin Hakim Konstitusi Aswanto.
Pemohon yang hadir tanpa kuasa hukum menjelaskan hak konstitusionalnya terlanggar dengan adanya Pasal 50 ayat (2) UU Tenaga Kesehatan. Pasal 50 ayat (2) UU Tenaga Kesehatan menyebutkan ‘Setiap jenis Tenaga Kesehatan hanya dapat membentuk 1 (satu) Organisasi Profesi’. Pemohon yang merupakan tenaga teknis kefarmasian ahli madya farmasi merasa dirugikan dengan berlakunya ketentuan tersebut.
Menurut Permohon ketentuan Pasal 50 ayat (2) UU 36/2014 Khususnya frasa ‘hanya dapat membentuk 1 (satu) organisasi profesi’ bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28F UUD 1945. Norma tersebut juga dirasa bersifat diskriminatif dan merugikan Pemohon karena hanya memperbolehkan membentuk 1 (satu) organisasi profesi. Hal ini menyebabkan Pemohon terhalang atau berpotensi tidak dapat membentuk Organisasi Profesi Tenaga Kesehatan Tenaga Teknis Kefarmasian.
“Ini untuk pertama kalinya yang saya tahu bahwa ada undang-undang yang menyatakan bahwa hanya dapat membentuk satu organisasi khusus untuk profesi kesehatan. Padahal setahu saya tidak ada undang-undang atau aturan apa pun yang membatasi setiap warga negara untuk membentuk organisasi profesi,” terang Srijanto, Rabu (19/8).
Oleh karena itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 50 ayat (2) UU Tenaga Kesehatan, khususnya frasa ‘hanya dapat membentuk 1 (satu) Organisasi Profesi’ bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28F UUD 1945. “Menyatakan Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, khususnya frasa ‘hanya dapat membentuk satu Organisasi Profesi’ tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya,” pintanya.
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim yang juga dihadiri oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Hakim Konstitusi Suhartoyo memberikan saran perbaikan. Wahiduddin meminta agar Pemohon membuktikan kedudukan hukumnya. “Harus Pemohon buktikan bahwa Bapak adalah benar seorang tenaga farmasi, misalnya dengan kartu kepegawaian atau surat keterangan yang menunjukkan bahwa Bapak bekerja sebagai seorang tenaga farmasi di sebuah instansi,” jelasnya.
Selain itu, Pemohon diminta Wahiduddin untuk memaparkan kerugian konstitusionalnya secara mendalam. Menurutnya, norma yang dimohonkan pengujian itu adalah norma yang berkaitan dengan pembentukan satu wadah organisasi profesi, maka Pemohon harus dapat membuktikan letak kerugian konstitusional atas berlakunya norma tersebut.
“Misalnya norma ini jadi membatasi Pemohon untuk membentuk sebuah organisasi profesi tenaga farmasi lain karena Saudara berhak atau hendak berniat atau sudah merencanakan untuk membentuk suatu organisasi farmasi. Juga perlu karena Bapak menyebutkan ada beberapa organisasi profesi bidang farmasi, seperti di profesi advokat terdapat tadi mungkin sudah disinggung,” tandasnya.
Pemohon diberi waktu 14 hari kerja untuk memperbaiki permohonannya. Sidang berikutnya mengagendakan pemeriksaan perbaikan permohonan. (Lulu Anjarsari)