Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) dengan agenda pemeriksaan pendahuluan. Pada sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Patrialis Akbar, Mahkamah menggabung pemeriksaan tiga perkara, yakni perkara nomor 95, 96, 100/PUU-XIII/2015. Para Pemohon dalam perkara-perkara tersebut secara umum menggugat ketentuan yang mengatur syarat minimal dua pasang calon dalam Pilkada. Jika syarat itu tidak terpenuhi, maka penyelenggaraan Pilkada ditunda.
Perkara yang teregistrasi dengan nomor 95/PUU-XIII/2015 diajukan oleh tiga orang warga Surabaya, yakni Aprizaldi, Andri Siswanto, dan Alex Andreas. Para Pemohon menilai, Pasal Pasal 49 ayat (9), Pasal 50 ayat (9), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2), Pasal 54 ayat (4) dan Pasal 54 ayat (6) UU Pilkada berpotensi mengakibatkan gagalnya penyelenggaraan Pilkada Kota Surabaya 2015. Kegagalan itu terjadi jika hanya ada satu pasangan calon.
Potensi gagalnya Pilkada Kota Surabaya, menurut Pemohon, dapat merugikan hak konstitusionalnya karena Pemohon tidak bisa memilih kepala daerah pada 9 Desember mendatang. Diwakili kuasa hukumnya Muhammad Sholeh, Pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 49 ayat (9), Pasal 50 ayat (9), Pasal 51 ayat (2) sepanjang frasa ‘paling sedikit dua’, Pasal 52 ayat (2) sepanjang frasa ‘paling sedikit dua’, serta Pasal 54 ayat (4) dan Pasal 54 ayat (6) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
“Kita ingin frasa paling sedikit dua itu dihapus karena ini sudah diatur di dalam Pasal 49 maupun Pasal 50. Ketika dua pasangan itu tidak tercapai, ada penundaan 10 hari, dibukalah pendaftaran baru yang biasa disebut dengan pendaftaran tahap kedua. Jadi akar masalahnya itu ada di Pasal 51 ayat (2) dan Pasal 52 ayat (2),” papar Sholeh di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Rabu (19/8).
Pemohon juga meminta MK menyatakan Pasal 49 ayat (9) UU Pilkada konstitusional sepanjang dimaknai ‘KPU provinsi membuka kembali pendaftaran pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur paling lama tiga hari setelah penundaan tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (8). Setelah tiga hari perpanjangan waktu pendaftaran tapi belum menghasilkan minimal dua pasangan calon, proses pemilukada harus tetap dilanjutkan’.
Pasal 50 ayat (9) UU Pilkada dinyatakan konstitusional sepanjang dimaknai “KPU Kabupaten/Kota membuka kembali pendaftaran pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota paling lama tiga hari setelah penundaan tahapan sebagaimana dimaksud ayat (8) setelah tiga hari perpanjangan waktu pendaftaran tapi belum menghasilkan minimal dua pasangan calon, proses pemilukada harus tetap dilanjutkan.”
Pasal 54 ayat (4) UU Pilkada dimaknai “KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota membuka kembali pendaftaran mengajukan pasangan calon paling lambat tujuh hari jika belum menghasilkan minimal dua pasangan calon, proses pemilukada harus tetap dilanjutkan.”
Terakhir, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 54 ayat (6) UU Pilkada konstitusional sepanjang dimaknai “Dalam hal pasangan calon berhalangan tetap pada saat dimulainya kampanye sampai hari pemungutan suara pasangan calon kurang dari dua orang, tahapan pelaksanaan pemilihan ditunda paling lama 14 hari jika belum menghasilkan minimal dua pasangan calon, proses pemilukada harus tetap dilanjutkan.”
Sementara, Perkara Nomor 96/PUU-XIII/2015 dimohonkan oleh dua orang kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Surabaya, yakni Calon Wakil Walikota Surabaya Wisnu Sakti Buana dan Sekretaris PDIP DPC Surabaya Syaifudin Zuhri. Diwakili kuasa hukumnya Edward Dewaruci, Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan adanya ketentuan Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2), Pasal 121 ayat (1), dan Pasal 122 ayat (1) UU Pilkada.
Menurutnya, sudah tiga kali terjadi penundaan pendaftaran pasangan calon Tri Rismaharini dan Wisnu Sakti Buana. Hal ini dikarenakan peserta pemilihan kurang dari dua pasangan calon. Untuk itu Pemohon menilai terdapat potensi kerugian konstitusional yang akan dialami oleh pasangan calon tersebut karena hak dasar mereka untuk bisa mengikuti pemilihan menjadi tidak jelas.
“Pemohon merasa ada kelemahan di dalam UU Pemilihan Kepala Daerah yang menyebabkan adanya situasi yang tidak menentu dan tidak pasti terhadap posisinya. Mereka sudah mendaftarkan secara resmi, memenuhi persyaratan-persyaratan sesuai dengan undang-undang, tapi terkatung-katung dan tidak menentu hanya karena ada ketentuan harus ada dua pasangan calon dulu, baru ada pemilihan yang harus ditetapkan oleh KPU,” papar Edward.
Terakhir, akademisi Effendi Gazali dan Yayan Sakti selaku Pemohon Perkara Nomor 100/PUU-XIII/2015 mengungkapkan keresahannya terkait adanya penundaan Pilkada. Menurutnya jika terjadi penundaan Pilkada di suatu daerah, maka kekuasaan pemerintahan daerah akan diserahkan kepada Pelaksana Tugas (Plt).`
“Pada umumnya itu memang Plt tidak mengambil kebijakan yang strategis, tapi yang jauh lebih penting adalah hak asasi warga negara di daerah tersebut untuk mendapat pemerintahan yang terbaik dari hasil pilihan mereka sendiri,” ungkap Effendi. (Lulu Hanifah)