Komisaris PT Panca Lomba Makmur R.J. Seohandoyo mengajukan pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang perdana perkara yang teregistrasi dengan Nomor 90/PUU-XIII/2015 ini digelar pada Selasa (18/8) di Ruang Sidang Panel MK.
Soehandoyo merupakan tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana pencucian uang yang merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 69 UU TPPU. Pasal tersebut menyatakan “Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana Pencucian Uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya”.
Melalui Merlina selaku kuasa hukumnya, pemohon mendalilkan logika hukum tindak pidana pencucian uang dalam Pasal UU a quo bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana pencucian uang. Dalam perusahaan tersebut telah terjadi penggelapan dalam jabatannya yang dilakukan oleh Direktur dan Manajer Keuangan PT Panca Logam Makmur serta keduanya telah dijatuh hukuman pidana penjara selama 3 tahun. Kemudian, Pemohon selaku komisaris mengundang para pemegang saham untuk mengadakan rapat umum pemegang saham (RUPS) untuk memilih direksi baru karena masalah tersebut. Namun, RUPS tidak dapat dilaksanakan karena ada salah satu pemegang saham mayoritas yang tidak hadir. Tanpa sepengetahuan Pemohon, pemegang saham yang lain telah melakukan RUPS dan telah menetapkan pergantian pengurus perusahaan.
Terhadap kejadian ini Pemohon selaku komisaris dan pengurus sementara demi menyelamatkan asset perusahaan, memindahbukukan dana perusahaan yang telah digelapkan direktur dan manajer keuangan terdahulu yang ada di rekening manajer keuangan tersebut ke rekening P.T. Panca Logam Makmur. Akan tetapi, tindakan tersebut justru menjadi dasar Pemohon menjadi tersangka. Pemohon merasa dirugikan karena Penyidik Polda Sulawesi Tenggara dalam menetapkan Pemohon menjadi tersangka ini menggunakan dasar hukum ketentuan Pasal 69 UU 8/2010. “Namun Pemohon berpendapat bahwa Penyidik tidak dapat menetapkan Pemohon menjadi tersangka Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) karena perkara awalnya bukan tindak pidana pencucian uang tetapi tindak pidana perbankan dan yang menjadi tersangkapun bukan Pemohon,” ujar Merlina.
Pemohon mendalilkan, apabila tindak pidana asal tidak terbukti maka tidak terbukti pula atau tidak ada harta kekayaan yang disebut sebagai hasil tindak pidana yang menjadi objek tindak pidana pencucian uang itu. Sebab dengan tidak terbuktinya tindak pidana, lanjutnya, maka tidak ada tindak pidana pencucian uang sehingga harta kekayaan diperoleh daripadanya bukan merupakan hasil tindak pidana. ”Untuk mencegah terjadinya permasalahan hukum di atas, seharusnya dalam perkara TPPU yang pelakunya berbeda dengan pelaku predikat crime-nya, maka tindak pidana asal yang harus diproses hukum terlebih dahulu,” ujar Merlina.
Namun, aturan dalam UU PP-TPPU menyebut dilakukan penuntutan dan disidangkan terlebih dahulu baru kemudian apabila dinyatakan tindak pidana asalnya terbukti dilakukan proses hukum terhadap tindak pidana pencucian uang. “Sebaliknya, dalam hal predikat crime-nya dinyatakan tidak terbukti oleh pengadilan, maka tidak perlu dilanjutkan dengan melakukan proses penyelidikan apalagi penuntutan atau persidangan di depan pengadilan atau tindak pidana pencucian uangnya. Dengan langkah seperti ini logika hukum kita tidak akan dibuat terbalik akibat dapat dibuktikan tanpa adanya klausul atau sebab. Untuk itulah, kami meminta pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945,” terangnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Saran Perbaikan
Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Suhartoyo memberikan saran perbaikan agar pemohon memperhatikan bahwa Pasal 69 UU PP TPPU pernah diajukan untuk diuji. Aswanto mengingatkan bahwa Pasal 77/PUU-XII/2014 pernah mengajukan permohonan serupa, namun Pemohon bisa mengubah batu uji.
“Kalau kita melihat ketentuan yang ada dalam Pasal 60 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 di dalam ketentuan itu sudah ditegaskan bahwa terhadap materi muatan pasal dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji tidak dapat dimohonkan pengujiannya kembali. Namun, ada pengecualiannya, ketentuan sebagaimana dimaksud di ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang dijadikan sebagai batu uji itu berbeda dengan kasus sebelumnya,” jelas Aswanto.
Pemohon diberi waktu 14 hari kerja untuk melakukan perbaikan terhadap permohonannya. Sidang berikutnya diagendakan untuk memeriksa perbaikan yang dilakukan pemohon. (Lulu Anjarsari)