Mahkamah Konstitusi menggelar sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA), khususnya Pasal 40 ayat 2. Uji materi UU tersebut dimohonkan oleh Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK).
Salah satu Pemohon, Syaugi Pratama menjelaskan, Pasal 13 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah sidang terbuka untuk umum kecuali undang-undang menentukan lain. Sedangkan ketentuan UU MA tidak mengatur tata cara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang oleh Mahkamah Agung, melainkan diatur lebih lanjut oleh peraturan Mahkamah Agung.
“Konsekuensi logisnya, karena UU MA tidak mengatur tata cara persidangan uji peraturan perundang-undangan secara eksplisit dan rigit dalam UU MA, maka aturan kembali pada Pasal 13 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman yang mewajibkan digelar sidang pemeriksaan dan putusan secara terbuka untuk umum,” jelas Syaugi dalam sidang dengan nomor perkara 92/PUU-XIII/2015 di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Selasa (18/8).
Menurut Pemohon, apabila tata cara persidangan pengujian perundang-undangan di bawah undang-undang oleh MA akan diatur lebih lanjut, seharusnya UU mengatur terlebih dahulu agar MA tidak mengambil peran lembaga legislatif. “Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif tidak sepantasnya mengambil peran DPR dan presiden dengan membuat ketentuan hukum acara lain tanpa diatur terlebih dahulu oleh undang-undang,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Pemohon membandingkan hukum acara di Mahkamah Konstitusi dan di Mahkamah Agung. Menurut Pemohon, hukum acara pengujian UU terhadap UUD 1945 terdapat asas keaktifan hakim yang memberikan nasihat-nasihat kepada Pemohon. Nasihat diberikan agar Pemohon dapat memperbaiki atau menyempurnakan permohonannya. Hal tersebut, dinilai Pemohon berbeda dengan hukum acara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang di Mahkamah Agung.
“Inilah yang kita anggap tidak ada kedudukan yang seimbang antara warga negara dengan negara karena negara memiliki power yang lebih dominan dibanding warga negara. Kami anggap persoalan ini mencederai rasa keadilan bagi masyarakat yang ingin mencapai keadilan,” jelas Kurniawan selaku Pemohon.
Adapun Pasal 40 ayat (2) UU MA menyatakan,
“Putusan Mahkamah Agung diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum”
Oleh karena itu, dalam petitum Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 40 ayat (2) UU MA tidak bertentangan dengan UUD 1945 atau konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai “khusus untuk pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang harus digelar dalam sidang terbuka untuk umum”.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan, Majelis Hakim yang diketuai Wakil Ketua MK Anwar Usman menilai kerugian konstitusional yang digambarkan Pemohon masih kerugian potensial. “Saudara dapat menegaskan bahwa kerugian itu tidak lagi potensial Saudara alami, tapi sudah terjadi. Saudara sebagai Pemohon, sebagai suatu badan hukum privat, sudah mengalami kerugian itu,” ujar Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
Kemudian dalam petitum, Pemohon ingin MK menyatakan konstitusional bersyarat dan meminta tafsir terhadap pasal a quo yang sebetulnya intinya sama. Menurut Majelis Hakim, Pemohon perlu mengelaborasi pernyataan konstitusional bersyarat dan tafsir yang diminta. (Lulu Hanifah)