Jakarta, GATRAnews - Pusat Bantuan Hukum Perhimpunan Advokat Indonesia (PBH Peradi) menyatakan, Hari Ulang Tahun Ke-70 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia sebaiknya menjadi momentum membangun sistem hukum nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, sehingga sebagai bangsa yang berdaulat, dan Indonesia memiliki sistem hukum yang menjawab kebutuhan bangsa dan sesuai nilai-nilai masyarakatnya.
"Dalam merefleksikan 70 tahun perjalanan Indonesia, kiranya perlu dibangun sistem hukum nasional yang berdasar pada Pancasila dan UUD 45," kata Rivai Kusumanegara, Ketua PBH Peradi, di Jakarta, Senin (17/8).
Dengan terbangunnya sistem hukum nasional, lanjut Rivai, dapat diharapkan bisa menyelesaikan berbagai persoalan di atas secara bertahap, sehingga harapan "founding fathers" agar Indonesia menjadi negara hukum (rechtstaat) dapat terwujud.
Rivai mengusulkan demikian, karena menilai pembangunan hukum di Indonesia boleh dikatakan baru dimulai setelah era Reformasi. Saat Orde Lama maupun Orde Baru, hukum hanya dipandang sebelah mata, bahkan terkadang digunakan untuk melegitimasi kehendak penguasa.
"Sehingga dapat dikatakan pembangunan hukum di Indonesia baru berjalan sekitar satu dasawarsa dan kiranya masih dalam tahap mencari bentuk," katanya.
Karena demikian, dalam praktek penegakan hukum masih terlihat adanya faktor eforia, ego sektoral, dan perilaku koruptif yang membebani terbangunnya sistem hukum yang baik.
Menurutnya, L Friedman memperkenalkan sistem hukum atas tiga unsur, yakni materi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Dari segi materi hukum atau peraturan, sejak Reformasi banyak melahirkan perundang-undangan, namun sifatnya sporadis dan tidak terintegrasi.
"Akibatnya, terjadi percampuran hukum antara sistem Anglo Saxon, Continental Law, hingga hukum agama. Bahkan, masih banyak hukum peninggalan kolonial yang berlaku di Indonesia, sekalipun di negeri Belanda sudah tidak digunakan," ungkapnya.
Demikian halnya dengan struktur hukum atau penegak hukum. Sejak era Reformasi, didirikan lembaga penegak hukum baru, baik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), PPNS, Komisi Yudisial (KY), dan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam kaitan sengketa pilkada.
"Dengan timbulnya lembaga hukum baru, terjadi tarik menarik antar sektoral. Sementara penegak hukum konvensional merasa ditinggalkan, bahkan advokat yang juga bagian dari penegak hukum kerap dianaktirikan," katanya.
Padahal, lanjut Rivai, advokat adalah penegak hukum yang masuk di segala tahap dan lingkup peradilan, baik pidana, perdata, tata usaha negara, bahkan di MK sekalipun, juga menjadi garda bantuan hukum masyarakat miskin.
Mengenai budaya hukum, sebenarnya di era Reformasi sudah mengalami kemajuan. Jika di era Orde Baru, anak walikota saja sulit dihadapkan ke persidangan, saat ini, menteri pun sudah banyak dimejahijaukan.
"Namun perilaku koruptif dan hukum yang tajam ke bawah masih menjadi pekerjaan rumah. Karena itulah perlu membangun sistem hukum nasional yang berdasar pada Pancasila dan UUD 45, serta untuk menjawab kebutuhan bangsa dan sesuai nilai-nilai masyarakat," katanya.
Sumber: http://www.gatra.com/hukum-1/160988-pbh-peradi-indonesia-perlu-wujudkan-sistem-hukum-nasional.html