Jakarta, HanTer-Komisi III DPR dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berpandangan, kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak perlu ditambah dengan menerima aduan dan mengadili perkara pelanggaran HAM. Pasalnya, hal itu tak sesuai dengan kewenangan MK, yakni mengawal konstitusi.
Jika ikut mengadili, dikhawatirkan tugas MK mengawal konstitusi menjadi terganggu dengan diberikannya kewenangan baru mengadili perkara HAM, demikian diungkapkan anggota Komisi III DPR RI, Adies Kadir dan Anggota Komnas HAM, Siane Indriani kepada Harian Terbit, Senin (17/8/2015).
Keduanya menanggapi usulan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK) akhir pekan lalu di Jakarta, agar MK memiliki kewenangan menangani perkara pengaduan konstitusional yang mencakup perkara pelanggaran HAM. Alasannya, selama ini kasus pelanggaran HAM selalu ditangani oleh Komnas HAM, namun proses penyelesaiannya selalu menggantung lantaran Komnas HAM hanya berwenang memberikan rekomendasi.
"Kewenangan MK dikembalikan saja kepada UUD 1945, yakni lembaga kenegaaraan yang di buat untuk mengawal konstitusi agar dilaksanakan dan di hormati baik oleh penyelenggara negara maupun oleh warga negara," kata Adies.
Dijelaskannya, dalam UUD 1945 sudah jelas diatur fungsi MK untuk menangani perkara tertentu di bidang Ketatanegaraan yang artinya keberadaan MK untuk menegakkan keadilan kontutusional di tengah kehidupan masyarakat.
"Sebaiknya perkara-perkara/kasus-kasus mengenai HAM di selesaikan saja di peradilan umum yang sudah mempunyai 4 lembaga peradilan di bawah Mahkamah Agung (MA), yaitu peradilan umum, tata usaha negara, agama dan militer sesuai dengan tugas dan wewenangnya masing-masing," kata Adies Kadir.
Dalam Undang Undang (UU) No.26/2000 tentang pengadilan HAM sudah mengamanatkan dibentuknya pengadilan HAM seperti pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor), pengadilan hubungan industri untuk sengketa perusahaan dan lainnya. Sedangkan, untuk pelanggaran HAM berat yang terjadi dibawah tahun 2000 dibentuk pengadilan HAM adhoc.
Sementara, kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi diatas tahun 2000 dilaksanakan melalui peradilan HAM yang saat ini ada di Jakarta, Medan, Surabaya dan Makasar. "Makanya tinggal itu saja diadakan dan di maksimalkan. Kan payung hukumnya sudah ada seperti pengadilan pajak juga kan," tegas Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR ini.
Siane Indriani menambahkan, kewenangan MK berkaitan dengan konstitusi dan bukan lembaga yang berwenang mengadili pelanggaran HAM. "Itu mengacaukan kewenangan MK. Perkara HAM ya Kejaksaan Agung (Kejagung), yakni penyelidikan oleh Komnas HAM dan penyidikan oleh Kejagung," kata Siane.
Dia mengaku, selama ini masalah pelanggaran HAM yang ditangani lembaganya sudah selesai dilakukan penyelidikan dan sudah diserahkan ke Kejagung. "Masalahnya 7 kasus yang telah selesai dilakukan penyelidikan oleh Komnas HAM sudah diserahkan ke Kejagung. Sekarang bola ada di Jaksa Agung," ungkapnya.
Berbeda dengan keduanya, anggota Komisi III DPR lainnya, Saiful Bahri Ruray justru mengatakan bahwa kewenangan MK harus ditambah mengadili perkara HAM bisa saja dilakukan karena HAM adalah keajaiban konstitusional negara.
Saiful beralasan, pelanggaran HAM dapat dikategorikan sebagai pelanggaran konstitusi negara. Bahkan, pada kontrak-kontrak perdata yang dilakukan negara dengan korporasi yang merugikan hak-hak publik atau komunitas lokal, dapat di sebut di Indonesia sebagai pelanggaran konstitusi.
"Karena itu, negara secara konstitusional berkewajiban melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Dan di banyak negara, HAM adalah hak konstitusional yang dilindungi negara." kata Politisi PG ini.
Dia mencontohkan, di Jerman dan Belanda berlaku kontrak perdata yang merugikan kepentingan publik dapat dicomplain sebagai pelanggaran konstitusional. Sementara di Indonesia banyak hak-hak adat yang terabaikan karena tidak memiliki legal standing. Padahal, hal itu dijamin dalam konvensi ILO (PBB). "Di Belanda hal yang sama telah dikemukakan DR.Hayyanulhaq, SH,LLM, Ketua Indonesian Law Society dan Direktur Mollengraaf Institute di Leiden. Beliau cendikiawan Indonesia yang ngajar disana," ungkapnya.
Untuk mengimplementasikan hal tersebut, Anggota Baleg DPR ini mengatakan diperlukan revisi ketentuan hukum yang berkaitan dengan kewenangan MK seperti mengamandemen UUD, UU MK dan lainnya. "Revisi ketentuan hukum yang berkaitan dengan kewenangan MK tersebut," katanya.
(Robbi Khadafi)
Sumber: http://nasional.harianterbit.com/nasional/2015/08/17/38515/43/25/Kewenangan-MK-Tak-Perlu-Ditambah-Adili-Perkara-HAM