Jakarta, GATRAnews - Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengabulkan gugatan Praperadilan mantan Menteri BUMN dan Dirut PLN, Dahlan Iskan, pada Selasa, 4 Agustus 2015 telah mewarnai pemberitaan di berbagai media. Hakim tunggal pada PN Jakarta Selatan Lendriyati Janis menyatakan penetapan tersangka Dahlan Iskan oleh Kejaksaan Tinggi DKI dalam kasus dugaan korupsi pembangunan gardu induk Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara tidak sah.
Hakim juga menyatakan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Prin-752/O.1/Fd.1/06/2015 yang dikeluarkan pada 5 Juni 2015 oleh Kejaksaan Tinggi DKI yang menetapkan sebagai tersangka juga tidak sah dan tidak berdasarkan hukum sehingga tidak mempunyai kekuatan yang mengikat.
Putusan Praperadilan yang mengabulkan permohonan tersangka dan menyatakan penyidikan tidak sah bukan cuma terjadi kali ini saja, hal itu pernah terjadi pada permohonan Praperadilan oleh Ilham Arief Sirajuddin (mantan Walikota Makasar), Hadi Poernomo (mantan Ketua BPK) dan permohonan Praperadilan lainnya.
Keberadaan Praperadilan dalam hal ini adalah sebagai bentuk check and balance atau bentuk pengawasan terhadap proses penegakan hukum yang harus menjamin perlindungan hak asasi manusia. Praperadilan bukan menetapkan materi pokok (perkara), Praperadilan hanya memeriksa prosedur yang telah dilakukan dalam proses penyidikan.
Putusan Praperadilan yang mengabulkan permohonan Ilham Arief Sirajuddin, Hadi Poernomo dan Dahlan Iskan tersebut di atas bukan putusan yang meloloskan tersangka dari jeratan hukum pidana. Putusan tersebut merupakan bentuk koreksi hakim kepada aparat penegak hukum dalam upayanya mencari/menemukan tersangka dan bukan memutuskan bersalah atau tidaknya tersangka.
Berdasarkan pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, dicantumkan bahwa putusan Praperadilan yang menetapkan suatu penyidikan tidak sah tidak berarti tersangka tersebut tidak bersalah dan tidak menggugurkan dugaan adanya tindak pidana yang terjadi. Dengan kata lain kasus tersebut tetap dapat dilakukan penyidikan kembali sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku secara ideal dan benar,
Dari ketiga putusan Praperadilan di atas, terdapat perbedaan pertimbangan yang didasarkan hakim Praperadilan untuk menetapkan penyidikan yang dilakukan tidak sah.
Pada putusan Praperadilan atas permohonan Ilham Arief Sirajuddin (IAS) hakim Yuningtyas Upiek Kartikawati telah menetapkan penyidikan terhadap Ilham Arief Sirajuddin sebagai tersangka oleh KPK tidak sah. Pertimbangan penetapan IAS sebagai tersangka didasarkan alat bukti yang hanya berupa fotokopi misalnya LHP (Laporan Hasil Pemeriksaan) BPK nomor 02/HP/XIX/03/2012 tertanggal 27 maret 2013, berita acara pemeriksaan ahli dan calon tersangka.
Pada putusan Praperadilan Hadi Poernomo terkait dengan penetapan tersangka, hakim PN Selatan Haswandi menyatakan, KPK tidak melaksanakannya sesuai dengan prosedur yang diatur di dalam UU KPK. Hadi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penyelahgunaan wewenang pada tanggal 21 April 2014. Penetapan tersangka itu bertepatan dengan tanggal penerbitan Surat Perintah Penyidikan Nomor Sprindik-17/01/04/2014.
Selain itu hakim Haswandi juga menyatakan bahwa tindakan penyelidikan yang dilakukan Dadi Mulyadi dan penyidikan yang dilakukan Ambarita Damanik tidak sah. Oleh karena status Dadi di instansi asalnya BPKP hanya sebagai Auditor dan bukan penyelidik. Sedangkan Ambarita telah diberhentikan secara terhormat dari Polri sejak 25 November 2014. Dengan demikian oleh karena status penyelidik dan penyidiknya dianggap tidak sah sehingga proses penyidikan terhadap kasus Hadi juga tidak sah.
Pada putusan Praperadilan Dahlan Iskan (DI) terkait penetapannya sebagai tersangka untuk kasus pengadaan gardu induk oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Hakim tunggal Lendriaty Janis memandang bahwa penyelidikan adalah suatu tindakan penyelidik untuk menentukan ada tidaknya suatu tindak pidana. Sehingga harus terlebih dulu mencari dan mengumpulkan bukti-bukti untuk membuat terang dan setelah adanya bukti, baru dapat menentukan tersangkanya.
Hakim Lendriaty Janis menimbang bahwa penetapan DI sebagai tersangka adalah pengembangan dari 15 tersangka sebelumnya dan bukti T 18 merupakan penetapan tersangka masing-masing dan tidak dijuntokan atau dikaitkan kepada DI. Dengan demikian DI tidak dapat serta merta ditetapkan sebagai tersangka, oleh karena penetapan tersangka harus ditemukan terlebih dulu dua alat buktinya.
Selain itu hakim juga mempertimbangkan bahwa dalam surat bukti panggilan saksi terhadap DI tidak dicantumkan tindak pidananya. Di sisi lain Sprindik tertanggal 5 Juli yang menetapkan DI sebagai tersangka, dianggap belum memenuhi minimal 2 alat bukti yang cukup. Sehingga penyidikan terhadap DI tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Oleh karena perluasan objek Praperadilan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 belum dilengkapi hukum acara pidana baik dalam bentuk undang-undang maupun peraturan Mahkamah Agung, sehingga tidak ada langkah yang jelas dalam menindaklanjuti penetapan Praperadilan yang menyatakan suatu penyidikan tidak sah.
Apakah penetapan Praperadilan yang menyatakan suatu penyidikan tidak sah merupakan akhir dari proses penanganan suatu tindak pidana? Oleh karena itu perlu diuraikan terlebih dahulu fungsi Praperadilan sebagaimana dimaksud oleh pembuat undang-undang terdahulu.
Praperadilan berupaya mengurangi timbulnya penyalahgunaan kekuasaan oleh penyidik dalam melakukan penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan. Praperadilan dan diatur dalam Pasal 1 butir 10 Kitab Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Namun putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 mengubah ketentuan Pasal 77 KUHAP dengan memperluas obyek praperadilan yaitu penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
Pembentukan mekanisme Praperadilan merupakan upaya dari pemerintah Indonesia untuk memperbaiki hukum acara pidana peninggalan Belanda yaitu Herzienne Inlands Reglement (H.I.R). Oleh karena dalam hukum acara pidana tersebut sering terjadi upaya paksa oleh aparat penegak hukum dilakukan tanpa menghormati hak asasi manusia, sehingga dibentuklah Pra Peradilan dalam rangka mengawasi tindakan penyidik.
Hal tersebut tercermin dalam tujuan dari pembentukan Praperadilan menurut Pedoman Pelaksanaan KUHAP yaitu untuk kepentingan perlindungan atas hak asasi manusia atau tersangka maupun terdakwa dalam suatu proses pidana. Proses ini haruslah mendapatkan perhatian dan tempat yang khusus, karena tanpa suatu pengawasan yang ketat tidak mustahil hak asasi manusia akan ditindas oleh kekuasaan.
Sebagai perbandingan di negara yang sistem hukumnya menganut common law system seperti Amerika Serikat mengenal Pre Trial Hearing dan di Hong Kong mengenal Committal Proceeding.
Pre Trial Hearing atau Preliminary Hearing suatu proses hukum antara penuntut umum dan penasehat hukum terdakwa dengan hakim yang dilakukan sebelum persidangan. Penuntut umum berupaya meyakinkan hakim dengan menampilkan seluruh alat bukti agar kasus itu dapat dilimpahkan ke pengadilan. Sebaliknya, penasehat hukum berupaya menguji seluruh alat bukti yang ada termasuk latar belakang saksi sehingga dapat meyakinkan hakim bahwa kasus itu belum cukup bukti.
Dengan demikian Praperadilan sebenarnya merupakan forum perbaikan proses penyidikan yang dilakukan aparat penegak hukum agar dapat lebih menghormati hak asasi manusia dan putusan Praperadilan bukan akhir perjuangan penyidik untuk membuktikan terjadinya suatu peristiwa pidana. Apabila Praperadilan dimaksudkan untuk memperbaiki proses penyidikan, lalu langkah apa yang harus dilakukan dalam menghadapi permohonan Praperadilan yang menetapkan suatu penyidikan tidak sah. Apakah penyidik melakukan Banding, Kasasi, Peninjauan Kembali atau mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan baru?
Putusan pra peradilan pada dasarnya tidak dapat dimintakan banding, kecuali atas putusan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan. Pasal 83 ayat (1) berbunyi “ Terhadap putusan pra peradilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 79, pasal 80 dan pasal 81 tidak dapat dimintakan banding”.
Sedangkan pasal 83 ayat (2) berbunyi: terhadap putusan yang menetapkan “sahnya” penghentian penyidikan atau penuntutan “tidak dapat” diajukan permintaan banding; terhadap putusan yang menetapkan “tidak sahnya” penghentian penyidikan atau penuntutan “dapat” diajukan permintaan banding; Pengadilan Tinggi (PT) yang memeriksa dan memutus permintaan banding tentang tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, bertindak sebagai pengadilan yang memeriksa dan memutus “dalam tingkat akhir”.
Kasasi terhadap penetapan Praperadilan berdasarkan pasal 45 A Undang-Undang Mahkamah Agung (terakhir diperbarui dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009), melarang kasasi untuk praperadilan, perkara pidana yang diancam pidana penjara paling lama satu tahun dan/atau denda, serta perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah yang bersangkutan. Jika tidak memenuhi persyaratan formal, permohonan itu harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Walaupun tidak ada aturan yang melarang Peninjauan Kembali terhadap penetapan Praperadilan sebagaimana upaya hukum Banding dan Kasasi, namun pilihan PK terhadap penetapan Praperadilan seharusnya tidak dilakukan. Hal tersebut dapat dilihat dari pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam putusan PK No.123 PK/Pid/2010.
Majelis hakim agung yang langsung dipimpin Ketua Mahkamah Agung Harifin A. Tumpa memberikan pertimbangan bahwa Undang-Undang Mahkamah Agung melarang putusan praperadilan untuk dikasasi. Upaya kasasi merupakan upaya hukum biasa. Jika untuk upaya hukum biasa saja dilarang, apalagi upaya hukum luar biasa seperti peninjauan kembali. Oleh karena ketentuan yang melarang kasasi atas praperadilan “berlaku mutatis mutandis terhadap upaya hukum luar biasa”. Sehingga permohonan peninjauan kembali dari pemohon tidak dapat diterima.
Melihat beberapa penjelasan di atas, maka menurut hemat penulis pilihan terbaiknya adalah melaksanakan penetapan Praperadilan dan segera menerbitkan Surat Perintah Penyidikan yang baru. Keberhasilan pilihan tersebut dapat dilihat dari kasus Ilham Arief Sirajuddin (IAS) oleh KPK. Setelah KPK menerbitkan Surat Penyidikan baru dengan memulai penyidikan dari awal, dan permohonan Praperadilan pun dilayangkan kembali oleh IAS. Namun pada penetapan Praperadilan yang kedua, permohonan Praperadilan Ilham Arief S ditolak hakim Amat Khusairi dengan pertimbangan bahwa KPK telah memenuhi alat bukti yang sah untuk menetapkan IAS sebagai tersangka sesuai hukum acara yang berlaku.
Sehingga tiada lain pilihan upaya yang harus dilakukan dalam menuntaskan perkara Dahlan Iskan adalah dengan mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) yang baru kemudian melakukan prosesnya untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 butir 2 UU No.8 Tahun 1981 Tentang KUHAP).
Penerbitan Sprindik baru sudah pasti akan ditentang oleh penasehat hukum tersangka, hal tersebut wajar oleh karena penasehat hukum tersangka akan berupaya memberikan jasa yang terbaik kepada kliennya. Walaupun seyogyanya para penasehat hukum tersebut memberikan penjelasan yang komprehensif kepada kliennya tentang fungsi dari Praperadilan.
Untuk menghindari benang kusut penetapan Praperadilan kemudian hari, maka seyogyanya untuk jangka panjang KUHAP segera diamandemen dan ditegaskan hukum acara yang dilakukan, namun oleh karena kebutuhan adanya hukum acara tersebut mendesak maka seharusnya Mahkamah Agung segera membuat Peraturan Mahkamah Agung untuk memperjelasnya.
Oleh: Dr. Reda Manthovani, SH,.LLM
Tenaga Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Pancasila.
Sumber: http://www.gatra.com/kolom-dan-wawancara/160537-merajut-benang-kusut-praperadilan.html?showall=&start=2