Sebelum dimasukkannya institusi Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai salah satu lembaga kekuasaan kehakiman di dalam pasal-pasal UUD 1945 hasil amandemen ketiga pada Sidang Tahunan MPR tahun 2001, terdapat kekosongan hukum di dalam hal kewenangan pengujian materiel (judicial review) atas undang-undang terhadap UUD 1945. Mahkamah Agung (MA) sebagai pengadilan tertinggi tingkat kasasi dan juga lembaga tinggi negara di bidang yudikatif, berdasarkan undang-undang menjalankan wewenang mengadili permohonan uji materiel hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah tingkat undang-undang. Akibatnya sebuah undang-undang yang dihasilkan DPR bersama-sama pemerintah, dibiarkan berjalan begitu saja tanpa bisa dipermasalahkan lagi apakah undang-undang itu bertentangan atau tidak dengan hak-hak konstitusi rakyat, hak asasi manusia dan demokrasi yang terdapat di dalam UUD 1945. Filter mengenai hal itu tampaknya diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah dan DPR yang tentu saja sangat dipengaruhi oleh kepentingan kekuasaan dan politik keduanya.
Setelah undang-undang pelaksanaannya dibentuk, yaitu Undang-undang (UU) No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, barulah pemeriksaan uji materiel UU terhadapUUD 1945 dapat dijalankan oleh MK. Dengan demikian MK merupakan salah satu kekuasaan kehakiman yang secara spesifik menjalankan wewenang pengadilan menguji meteriel undang-undang, disamping wewenang lainnya yaitu memutus sengketa wewenang antar lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum, serta memiliki kewajiban memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Dengan diusungnya wewenang spesifik menjaga dan mengawal konstitusi agar setiap undang-undang tidak melanggar dan bertentangan dengan UUD 1945, maka MK akrab dikenal sebagai instutusi “Pengawal atau Pengaman Konstitusi”, walaupun wewenang pengawalan dan pengamanan ini undang-undang menganut stelsel pasif, yaitu MK baru dapat melaksanakan kewenangannya setelah lebih dulu adanya permohonan dari warga negara (perorangan, masyarakat hukum adat, badan hukum atau lembaga negara) bahwa sebuah undang-undang sebagian atau keseluruhan isinya bertentangan dengan UUD 1945. Permohonan itu pun harus disertai syarat bahwa secara individual warga negara pemohon telah dirugikan hak dan wewenang konstitusinya akibat berlakunya undang-undang tersebut.
MK sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang “bermain” di ranah konstitusi, tentu berbeda dengan Mahkamah Agung selaku pengadilan kasasi yang bermain di ranah undang-undang. Walaupun sama-sama sebagai lembaga tinggi negara di sektor yudikatif, namun MA tidaklah spesifik dengan sebutan “pengawal atau pengaman konstitusi”, “penafsir final konstitusi”, “pelindung hak konstitusional”, “pengawal demokrasi” dan pelindung HAM” sebagaimana yang dilekatkan oleh para pakar hukum tatanegara kepada MK. Dengan perkataan lain, sesuai namanya, MK adalah pengadilan konstitusi.
Konstitusi itu sendiri menurut Prof. Miriam Budiardjo, dalam bukunya “Dasar-dasar Ilmu Politik”, 2008, halaman 186-187, sesungguhnya tidak hanya meliputi konstitusi tertulis yang bernama undang-undang dasar atau UUD, tapi juga meliputi cakupan yang lebih luas yang tersebar di dalam konstitusi-konstitusi tidak tertulis yang hidup, dirasakan dan mengikat sebagai hukum dasar yang diakui secara luas oleh masyarakat dalam kerangka hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Baik konstitusi tertulis maupun tidak tertulis, hidup dan terangkat dari berbagai komponen nilai dan norma kehidupan yang meliputi pandangan sosial, sejarah dan budaya, filosofi, ekonomi, hukum, politik, agama, moral spiritual, bahkan ideologi. Karena itu pula, untuk dapat memahami teks konstitusi sesuai dengan cakupan makna, diperlukan tidak hanya penguasaan dan kebijakan di bidang hukum, melainkan juga penguasaan, kebijakan dan kearifan yang dalam mengenai komplek nilai dan norma yang hidup dalam masyarakat yang pluralistik. Penjelasan UUD 1945 yang kini tinggal sebagai dokumen sejarah konstitusi kita karena tidak lagi menjadi bagian integral dari UUD 1945 pasca amandemen, mengatakan bahwa untuk menyelidiki hukum dasar suatu negara, tidaklah cukup hanya menyelidiki pasal-pasal dalam UUD saja, akan tetapi juga harus diselidiki pula bagaimana praktiknya dan latar belakang kebatinannya dari UUD itu. Sebab UUD dari negara manapun tidak akan dimengerti kalau hanya sekadar dibaca naskahnya saja. Untuk dapat mengerti sungguh-sungguh mengenai arti dan maksud UUD suatu negara, perlu dipelajari juga bagaimana terjadinya naskah itu, dan dalam suasana apakah naskah UUD itu dibuat. Dengan demikian, dapatlah kita lebih mengerti maksud suatu UUD serta aliran pikiran yang mendasarinya.
Atas dasar itu pula, hakim konstitusi pada MK sayogianya meliputi orang-orang yang pakar akademisi, arif, bijak dan matang serta cermat dalam memahami nilai-nilai dan norma kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta matang dalam pengendalian emosi intelektual. Sebab acapkali emosi yang tidak terkendali menjadi sumber terjerumusnya hakim pada konflik kepentingan.
UUD 1945 pada Bab IX mengenai Kekuasaan Kehakiman menyebutkan, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh MA dan MK ditambah sebuah Komisi Yudisial yang berkedudukan mandiri dan berwenang mengusulkan pengangkatan Calon Hakim Agung serta menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Terkait kriteria seorang Hakim Konstitusi, yang menurut kami terkandung persyaratan pemilihan dan pengangkatan hakim konstitusi, UUD 1945 pasal 24 ayat (5) menetapkan, hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. Selanjutnya oleh pembentuk undang-undang, pasal 24 ayat (5) UUD 1945 ini diambil over dan diletakkan ke dalam Undang-undang No. 24 tahun 2003 tentang MK pada pasal 15-nya.
Penulis menggarisbawahi phrase persyaratan “negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan”, yang menurut hemat penulis menunjuk pada seorang hakim konstitusi yang ahli atau pakar di lapangan konstitusi yang secara perkembangan intelektual memiliki pengalaman, kecakapan, kebijakan dan kearifan yang matang terhadap penguasaan nilai dan norma-norma yang hidup di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara berikut praktik pengelolaannya.
Namun, entah oleh karena pembentuk undang-undang menganggap MK termasuk badan peradilan sama seperti badan peradilan lain pada umumnya, UU No. 24 tahun 2003 pasal 16 ayat (1) huruf b menetapkan, untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi seorang calon harus memenuhi syarat berpendidikan sarjana hukum. Itulah sebabnya mengapa para hakim konstitusi kita, sejak kali pertama MK dibentuk hingga sekarang ini, semuanya berlatar belakang pendidikan hukum, atau terdiri dari para pakar hukum saja. Padahal UUD 1945 tidak mensyaratkan sama sekali hakim konstitusi harus berpendidikan sarjana hukum, kecuali syarat negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Dengan kata lain, syarat berpendidikan sarjana hukum bagi hakim konstitusi tidak tercantum di dalam UUD 1945.
Berbeda dengan persyaratan pengangkatan bagi Hakim Agung pada MA dan persyaratan bagi Anggota Komisi Yudisial pada Komisi Yudisial yang juga disebutkan dan ditetapkan secara cukup jelas dan langsung di dalam UUD 1945 pasal 24A ayat (2) yang berbunyi, “Hakim Agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum”, serta pasal 24B ayat (2) berbunyi, “Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum, serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela”. Kata-kata “berpengalaman di bidang hukum” bagi Hakim Agung dan Anggota Komisi Yudisial menunjuk orang yang berprofesi di bidang hukum, dan ia bisa profesor di bidang hukum (akademisi hukum), pengacara, konsultan hukum, mantan hakim, jaksa dan polisi.
Ketua MK, Mahfud MD mengemukakan, sejarah membuktikan proses pembentukan konstitusi bukan monopoli para ahli hukum. Para pembuat UUD 1945 ahlinya hukumnya hanya ada dua, yaitu Moh. Yamin dan Supomo, yang dominan justru Ir. Sukarno, seorang sarjana teknik. (Majalah Konstitusi No. 58, November 2011, hal 68)
Kesimpulan penulis, UUD 1945 melalui phrase persyaratan “negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan” bagi calon Hakim Konstitusi sesungguhnya menghendaki MK tidak hanya diisi oleh pakar hukum, tapi juga terdiri dari pakar sosial, ekonomi dan politik, pakar sejarah dan budaya, pakar filsafat dan ideologi, pakar agama dan moral spiritual kebangsaan, dan sebagainya. Orang sekaliber Soekarno, Hatta dan Syahrir, walaupun tidak berlatar belakang pendidikan sarjana hukum, tentu sangat layak diangkat sebagai Hakim Konstitusi. Dan oleh karena itu pula, UU No. 24 tahun 2003 tentang MK, khususnya pasal 16 ayat (1) huruf b, sebagai acuan penyusunan komposisi hakim pada MK sesungguhnya secara konstitusional bertentangan dengan UUD 1945.-
Oleh: Oleh : Sanusi Arsyad
Sumber: https://sanusiarsyad.wordpress.com/komposisi-hakim-konstitusi-tidak-sesuai-uud-1945/