Jakarta, HanTer-Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia (UI), Prof. Jimly Asshiddiqie mengungkapkan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) pusat maupun daerah serta Mahkamah Konstitusi (MK), sebenarnya tidak bisa lagi ambil bagian dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada) termasuk Pilkada serentak 9 desember 2015 mendatang.
Alasannya, Undang-Undang (UU) No.8/2015 tentang Pilkada serta putusan MK sudah menyebutkan bahwa Pilkada bukan lagi rezim Pemilihan Umum (Pemilu). Dengan demikian, kata Jimly, UU Pilkada mengatur penyelesaian sengketa perselisihan suara hasil Pilkada ditangani MK sampai terbentuknya pengadilan khusus Pilkada sebelum Pilkada serentak secara nasional pada 2027, sementara penyelenggaranya tetap KPU/KPUD, maka pemerintah dan DPR sudah dua kali melanggar konstitusi.
"Jadi UU Pilkada yang menyatakan bahwa Pilkada bukan Pemilu, tapi sementara diserahkan kepala MK, itu melanggar UUD dua kali. Kan saya sudah kasih tahu ke Komisi II DPR, ko masih berpikir begitu. Jadi tidak disiplin cara berpikirnya," kata Prof Jimly saat ditemui Harian Terbit di ruangan kerjanya, belum lama ini.
Menurut mantan Ketua MK periode pertama ini, pemerintah dan DPR harus berpikir ulang tentang lembaga mana yang nantinya menangani sengketa hasil perselisihan suara Pilkada serta siapa lembaga penyelenggara Pilkada.
Namun, sebutnya, hal ini tidak bisa dengan merevisi UU Pilkada. Melainkan, harus membuat UU khusus yang nantinya mengatur terbentuknya lembaga khusus yang tangani Pilkada serta mengakomodir terbentuknya lembaga peradilan khusus tangani sengketa hasil perselisihan suara Pilkada.
"Solusinya ya bikin lembaga baru. Namanya peradilan Pilkada atau Komisi Pilkada. Terserah dengan buat UU baru. Pokoknya harus konsekuen dan konsisten, kalau Pilkada itu rezim Pemilu maka penyelenggaranya KPU dan penyelesaian perselisihan hasilnya harus MK. MK tidak bisa menolak," tegasnya.
Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) ini menilai masalah ini semuanya berawal dari MK yang mengeluarkan putusan bahwa Pilkada bukan lagi rezim Pilkada yang membuat lembaga yang saat ini dipimpin oleh Arief Hidayat ini enggan menangani sengketa hasil perselisihan suara Pilkada. Padahal, menurutnya UUD mengamanatkan Pilkada itu rezim Pemilu.
"Ngawur sendiri dia (MK tak mau tangani sengketa Pilkada), tanya sama mereka mengapa dia jawab seperti itu. Pokoknya kalau pemilu itu diselenggarakan oleh KPU, sengketa hasilnya di MK. Maka sengketa prosesnya, boleh peradilan khusus, kecuali (Pilkada) bukan rezim Pemilu. Jadi, kalau Pilkada bukan rezim Pemilu, maka penyelenggara bukan KPU/KPUD supaya sengketa perselisihan hasil Pilkada tidak ke MK," jelasnya.
Jimly mengkritik keras putusan MK yang mengatakan bahwa Pilkada bukan lagi rezim Pemilu dan MK enggan tangani sengketa hasil perselisihan suara Pilkada. "Jangan mentang-mentang boleh batalkan UU, anda (MK) mau kerja enak-enak, tidak bisa dong. Berapa jumlah perkara di MK? Kalah dia dibandingan dengan Mahkamah Agung (MA). Bandingan dengan MK Germany, ya Allah dikit banget tidak sampai seribu (MKRI)," sesalnya.
Dia menambahkan, MK tidak boleh membawa masalah internalnya karena kasus korupsi dalam penanganan sengketa hasil perselisihan suara Pilkada oleh mantan Ketua MK Akil Mochtar, sehingga MK enggan tangani sengketa Pilkada. "Masa kerepotan, itu soal internal manajemen. Jangan gara-gara kasus Akil Mochtar, tidak mau repot. MK Amerika jumlah hakimnya 9, tapi perkaranya setahun 10ribu. Kenapa kita tidak bisa, tidak sampai seribu perkara ko," kecamnya.
Terkait masalah carut-marut persiapan Pilkada serentak 2015 mulai dari adanya calon tunggal di beberapa daerah yang membuat pihak-pihak mendorong Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Perppu Pilkada sampai adanya mahar politik dan masalah lainnya, Prof Jimly berpandangan hal itu merupakan konsekuensi dari peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah dan DPR.
Sehingga, dia meminta semua pihak harus menerima Pilkada yang memiliki calon tunggal maka pelaksanaanya di tunda sampai 2017. Sementara untuk memperbaiki hal itu, katanya, pemerintah dan DPR bisa melakukan revisi UU Pilkada. "Tidak perlu itu keluarkan Perppu Pilkada cuma masalah calon tunggal. Jalani saja semuanya sesuai peraturan yang ada saat ini ditunda ke 2017, sambil nantinya merevisi UU Pilkada dengan berkaca pada permasalahan-permasalahan yang ada saat ini," harapnya.
DPR Tak Terima
Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi II DPR, Arteria Dahlan tidak sepenuhnya sependapat dengan adanya pemikiran KPU/KPUD serta MK tidak bisa lagi ambil bagian dalam Pilkada termasuk Pilkada serentak, meskipun UU Pilkada serta putusan MK sudah menyebutkan bahwa Pilkada bukan lagi rezim Pemilu.
Sebab, katanya, harus ingat apabila mau konsisten memang Pilkada harus dipilih melalui DPRD (pilkada tidak langsung). Namun, sudah ada konsensus ketatanegaraan dimana rakyat melalui parlemen berkehendak untuk dilakukan Pilkada langsung. "Jadi mempermasalahkan KPU terkait dengan kewenangannya dalam Pilkada sangat tidak relevan. Apalagi dengan alasan demikian dan kondisi obyektif saat ini," kata Arteria Dahlan.
Terkait dengan MK, Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) meminta Prof Jimly jangan hadirkan polemik baru karena masalah kewenangan MK untuk Pilkada serentak sudah selesai, dimana MK (bukan atas keinginannya) demi penyelamatan demokrasi diposisikan sebagai lembaga peradilan penyelesain sengketa pilkada sampai dengan hadirnya pengadilan khusus Pilkada.
Sehingga, dia menilai tidak tepat apabila hal tersebut dikatakan bahwa pemerintah dan DPR sudah dua kali melanggar konstitusi. "Kalau dikatakan melanggar konstitusi ya Pilkada langsung juga langgar konstitusi, tapi kan kita tidak mau berpolemik dan mundur kebelakang. Yang dicari adalah jalan keluar dan solusi kebangsaan," ujarnya.
Dia melanjutkan, Komisi II DPR bukan tidak paham konstitusi tapi pihaknya tidak mau hanya mencari kesalahan tetapi sekaligus mencari jalan penyelesaian. Sebab, tegasnya, apabila mau konsisten dengan konstitusi maka demokrasinya harus gotong royong dan musyawarah mufakat dengan instrumennya adalah demokrasi perwakilan bukan pilkada langsung.
"Ini masih di hulu dan sudah berbeda ya turunnnya pasti berbeda. Tapi jangan dibilang melanggar dan bukannya Komisi II tidak tahu. Walaupun tidak profesor kami ini di komisi II sedikit banyaknya paham hukum tata negara juga," tegasnya.
Disatu sisi, Arteria sepakat bahwa pemerintah dan DPR harus berpikir ulang untuk mencermati isu-isu strategis seputar rumusan norma dalam UU Pilkada. Sebab, ungkapnya, banyak hal yang tidak hanya lembaga mana yang nantinya menangani sengketa hasil perselisihan suara Pilkada serta siapa lembaga penyelenggara Pilkada, termasuk membuat kajian dan analisis yuridis apakah harus membuat UU khusus yang nantinya mengatur terbentuknya lembaga khusus yang tangani Pilkada serta mengakomodir terbentuknya lembaga peradilan khusus tangani sengketa hasil perselisihan suara.
Maka dari itu, Arteria berpandangan sebagai negarawan dan mantan ketua MK tidaklah arif apabila Prof. Jimly menyatakan bahwa masalah ini semuanya berawal dari MK yang mengeluarkan putusan bahwa Pilkada bukan lagi rezim Pemilu yang membuat MK enggan menangani sengketa.
"Saya sependapat dengan putusan MK dan menurut hemat saya UUD tidak mengamanatkan Pilkada sebagai Pemilu, tapi sudahlah saat ini momentumnya tidak pas. Semua harus hadirkan solusi dan menyelesaikan," katanya.
Arteria memaparkan, setiap kepemimpinan di MK terdapat ciri khas dari kepemimpinannya. Prof Jimly kuat di pengujian UU dan konservatif, Prof Mahfud MD kuat di penerapan hukum progresif yang membuat Pilkada di MK dan putusan Pengujian Undang-Undang (PUU)-nya sering bikin terobosan. Sementara, Akil Mochtar lain lagi begitu juga dengan Prof Arief Hidayat. "Ini penguatan sekaligus pengayaan bagi kehidupan ketatanegaraan kita. Tidak perlu salah menyalahkan. Kita harus lakukan penguatan ke MK pasca tsunami kepercayaan," katanya.
Terkait adanya calon tunggal di beberapa daerah, menurutnya bukan berarti Pilkada carut marut. Melainkan, hal itu merupakan konsekuensi dari peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah dan DPR. "Dalam rapat panja berulang-ulang kali kami ingatkan KPU, khusus untuk PKPU pencalonan saya pribadi secara terang dan terbuka telah menyampaikan lebih dari 60 catatan-catatan khusus untuk PKPU tentang pencalonan untuk ditindaklanjuti dan saya minta KPU untuk mengirim draftnya terlebi hdahulu agar bisa kita cermati bersama. Tetapi faktanya KPU jalan sendiri dan saya keberatan kalau DPR diminta untuk turut bertanggung jawab. Ini murni ulahnya KPU," paparnya.
Sebab itu, Arteria meminta harus ada penyelesaian dan negara harus hadir untuk menyelesaikan. "Kita tidak dapat mengatakan bahwa jalani saja semuanya sesuai peraturan yang ada saat ini ditunda ke 2017. Parpol, peserta pemilu dan masyarakat pemilih dan daerah yang membutuhkan tata kelola pemerintahan yang baik saat ini tersandera hanya pada rumusan norma PKPU yang tidak bersandarkan pada UU. Itu tidak tepat dan harus ada jalan keluar," pungkasnya.
(Robbi Khadafi)
Sumber: http://nasional.harianterbit.com/nasional/2015/08/12/38064/0/25/Jimly-Asshiddiqie-KPU-dan-MK-Tak-Bisa-Ambil-Bagian-Dalam-Pilkada-Serentak