Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan pengujian materiil undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) dengan agenda mendengarkan keterangan ahli Pemohon pada (12/8) siang, di Ruang Sidang Pleno MK. Dalam persidangan perkara yang terdaftar dengan nomor 59/PUU-XIII/2015 tersebut, Pemohon mengahadirkan Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasila Mochamad Isnaeni Ramdhan sebagai ahli.
Memberikan keterangan ahli, Ramdhan menyatakan undang-undang merupakan sebuah kesatuan sistem yang senantiasa terkait melalui tata susunan peraturan perundang-undangan. Ramdhan kemudian mengkaitkan pandangan itu dengan permohonan Pemohon. Menurutnya, meskipun Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU P3 tidak mengikat, namun Penjelasan tersebut merupakan penjelasan resmi. Hal ini yang kemudian mengakibatkan terjadinya pembatasan terhadap Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR), di mana yang diakui masih berlaku hanya yang sudah ditetapkan dalam TAP MPR Nomor 1 Tahun 2003. Ini yang kemudian menutup kemungkinan berlakunya TAP MPR Nomor 18 Tahun 1998 tentang pencabutan TAP MPR Nomor 2 Tahun 1978 tentang Eka Prasetya Pancakarsa, yang di dalamnya terdapat penetapan Pancasila sebagai dasar negara.
“Sebagaimana kita ketahui meskipun tidak mengikat tapi Penjelasan Pasal 7 merupakan penjelasan resmi, sehingga dalam Penjelasan Pasal 7 yang membatasi ketetapan MPR yang masih berlaku hanya pada ketetapan MPR yang sudah ditetapkan dalam TAP MPR Nomor 1 Tahun 2003, menutup kemungkinan pemberlakuan TAP MPR Nomor 18 Tahun 1998 yang mencabut TAP MPR Nomor 2 Tahun 1978 tentang Eka Prasetya Pancakarsa dan menetapkan Pancasila sebagai dasar negara,” urai Ramdhan di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman.
Menurut Ramdhan, permohonan yang diajukan Pemohon terkait dengan kehendak untuk menerapkan Pancasila dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini yang menurutnya menjadi penting karena permohonan tersebut sebagai bentuk keprihatinan atas kurangnya konsistensi pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai produk hukum dalam suatu paradigma yang sistemik.
“Selanjutnya perlu dipahami bahwa legal standing Para Pemohon yang terkait dengan kehendak untuk menerapkan Pancasila dalam peraturan perundang-undangan sampai tingkat terendah. Ini perlu diapresiasi sebagai bentuk keprihatinan kurangnya konsistensi pengaturan pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai produk hukum dalam suatu paradigma yang sistemik,” papar Ramdhan.
Menanggapi keterangan ahli, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menanyakan pandangan ahli terkait tinjauan filosofis kedudukan Pembukaan UUD 1945 dengan pasal-pasal di dalam UUD 1945 dan keterkaitan antara undang-undang dengan UUD 1945. Selain itu, Palguna juga menanyakan pandangan ahli tentang fungsi penjelasan dalam sebuah undang-undang.
“Saudara mengatakan penjelasan itu tadi, ada kata walaupun tidak mengikat, begitu ya? Kalau demikian halnya, mengapa perlu ada penjelasan kalau tidak mengikat? Mengapa perlu ada penjelasan dan mengapa pula menjadi persoalan kalau itu misalnya dihilangkan? Toh itu bukan bagian yang mengikat dari ketentuan norma undang-undang. Majelis ingin mendapatkan paparan ini dari perspektif keahlian Saudara,” kata Palguna.
Menjawab pertanyaan itu, Ramdhan menyatakan secara filosofis Pembukaan UUD 1945 merupakan panduan dalam membentuk pasal-pasal dalam UUD 1945. Kemudian terhadap pertanyaan tentang Penjelasan sebuah undang-undang, Ramdhan menyatakan mengkoreksi pernyataannya yang disampaikan sebelumnya. Menurutnya, Penjelasan undang-undang bukan tidak mengikat, tetapi bukan merupakan norma. Penjelasan merupakan penjelasan resmi sebuah peraturan dan merupakan pedoman untuk menindaklanjuti peraturan tersebut.
“Meskipun dia (Penjelasan, red) tidak mengikat dan dia bukan merupakan norma karena dia merupakan penjelasan resmi, sehingga para pembentuk undang-undang menganggap itu merupakan pedoman untuk menindaklanjuti dari peraturan tersebut,” jelas Ramdhan.
Sidang Terakhir
Setelah itu, Wakil Ketua MK Anwar Usman selaku pimpinan sidang menyatakan kepada Pemohon bahwa Mahkamah memandang persidangan permohonan ini sudah cukup. Pemohon kemudian diminta untuk menyampaikan kesimpulannya. “Menurut Mahkamah juga sidang ini sudah cukup ya, nanti tinggal menyampaikan kesimpulan, jadi kalau ada keterangan tambahan bisa dimasukkan ke dalam kesimpulan nanti. Untuk kesimpulan harus diserahkan paling lambat Jumat, tanggal 21 Agustus 2015, pukul 14.00 WIB, nanti bisa disampaikan ke Para Pemohon lainnya,” tandas Anwar.
Sebelumnya, permohonan ini diajukan Yudi Latief, Adhie M. Massardi, dkk, perseorangan Warga Negara Indonesia yang mempunyai program demokrasi musyawarah Indonesia. Tujuan program ini adalah ditetapkannya Pancasila sebagai dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Para Pemohon merasa dirugikan karena Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU P3 telah menghilangkan ketentuan formal yang menetapkan Pancasila sebagai dasar negara. Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU P3 menyatakan:
“Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.”
Menurut para Pemohon, hal ini dapat terjadi karena isi dari TAP MPR Nomor I Tahun 2003, khususnya dalam Pasal 6 angka 91 telah menempatkan TAP MPR Nomor 18 Tahun 1998 sebagai TAP MPR yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final (einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai di laksanakan. Padahal penetapan Pancasila sebagai dasar negara tercantum dalam Pasal 1 TAP MPR Nomor 18 Tahun 1998. Untuk itu, Pemohon menilai ketentuan formal yang menetapkan pancasila sebagai dasar negara telah hilang karena penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU P3. (Triya IR)