Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (UU Tenaga Kesehatan) dengan agenda perbaikan permohonan pada Rabu (12/8), di Ruang Sidang Pleno MK. Para Pemohon dalam perkara yang teregistrasi dengan nomor 82/PUU-XIII/2015 ini yaitu Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PB PDGI), Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), dkk.
Dalam sidang perbaikan permohonan tersebut, Muhammad Joni selaku kuasa hukum Pemohon menyatakan telah memperbaiki kedudukan hukum (legal standing). Pemohon menegaskan bahwa kedudukan hukum PB IDI (Pemohon I) dan PB PDGI (Pemohon II) adalah badan hukum privat. ”Pemohon Ketiga, kami tegaskan sebagai lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Praktik Kedokteran. Untuk Pemohon Keempat dan Pemohon Kelima adalah orang perseorangan. Pemohon Keempat adalah dokter yang melakukan praktik kedokteran sehari-hari yang berkepentingan terhadap Undang-Undang Tenaga Kesehatan dimaksud dan Pemohon Kelima yang berkepentingan terhadap pasal-pasal yang ada di dalam Undang-Undang Tenaga Kesehatan,” jelasnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Selain itu, Pemohon juga menambahkan dalil dalam pokok permohonan. Dalam posita, para Pemohon menjelaskan pembentukan norma di dalam UU Tenaga Kesehatan ini adalah melebihi mandat delegasi. Kelebihan mandat ini terjadi karena Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tidak memerintahkan untuk mengatur tenaga medis, tetapi hanya tenaga kesehatan.
“Memang benar ada mandat delegasi Pasal 21 ayat (3) dan penjelasannya dari Undang-Undang Kesehatan yang memerintahkan dibuatnya Undang-Undang Tenaga Kesehatan, tetapi dengan tegas dikecualikan tenaga medis. Dalam Undang-Undang Tenaga Kesehatan ini, tenaga medis diatur dan kemudian akhirnya terikat dengan seluruh ketentuan, termasuk sanksi pidana dalam Undang-Undang Tenaga Kesehatan ini, Yang Mulia,” paparnya.
Dalam pokok permohonannya, para Pemohon merasa terlanggar dengan beberapa pasal dalam UU Tenaga Kesehatan. Di antaranya Pasal 1 angka 1 dan angka 6; Pasal 11 ayat (1) huruf a dan huruf m; Pasal 11 ayat (2) dan ayat (14); Pasal 12; Pasal 21 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6); Pasal 34 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), yang mengatur mengenai tenaga kesehatan. Selain itu, para Pemohon juga mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 35; Pasal 36; Pasal 37; Pasal 38; Pasal 39; Pasal 40; Pasal 41; Pasal 42; Pasal 43; Pasal 90; serta Pasal 94, yang mengatur Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI).
Para Pemohon menyatakan terdapat kesalahan konsepsional dan paradigmatik mengenai tenaga medis dalam UU Tenaga Kesehatan. Menurut para Pemohon, UU Tenaga Kesehatan seharusnya membedakan antara tenaga profesi di bidang kesehatan (dokter dan dokter gigi) dengan tenaga vokasi (misalnya teknisi gigi). Selain itu, Pemohon juga menggugat ketentuan yang mengatur mengenai pembentukan KTKI. Menurut Pemohon, peleburan Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi ke dalam KTKI telah menurunkan derajat para dokter. Berdasarkan UU Tenaga Kesehatan, KTKI tidak memiliki fungsi pengawasan, penegakan disiplin dan penindakan tenaga kesehatan. Para Pemohon menilai, KTKI sebagai pengganti Konsil Kedokteran Indonesia telah kehilangan independensinya sebab saat ini KTKI tidak lagi bertanggung jawab langsung kepada Presiden melainkan melalui Menteri Kesehatan. (Lulu Anjarsari)