Perselisihan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pilkada) harus diselesaikan sebaik-baiknya pada tataran tingkat yang paling bawah sampai paling atas. Demikian disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat saat memberikan pembekalan kepada peserta Apel Kepala Satuan Wilayah (Kasatwil) Kepolisian Republik Indonesia (Polri) pada Rabu (12/8) siang, di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Jakarta.
“Kita harus bisa menjaga proses Pilkada dengan sebaik-baiknya. Sengketa Pilkada yang bisa masuk ke MK sudah dibatasi oleh undang-undang. Juga sudah ada mekanisme penyelesaian sengketa Pilkada di awal, diselesaikan secara administratif oleh Bawaslu, KPU dan Panwaslu di tingkat bawah,” papar Arief dalam acara bertopik ‘Strategi Penyelenggaraan Sidang Perselisihan Hasil Pilkada Tahun 2015’ tersebut.
Arief melanjutkan, kalau sengketa hasil Pilkada menyangkut etik penyelenggara, maka diselesaikan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP). Kemudian kalau sengketa hasil Pilkada meningkat sampai penentuan calon kepala daerah, maka itu diselesaikan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Kalau ada pelanggaran pidana dalam sengketa hasil Pilkada, maka diselesaikan oleh Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) Pilkada.
“Tingkatan-tingkatan penyelesaian ini harus kita efektifkan sedemikian rupa, sehingga sudah sejak awal semuanya terselesaikan dengan baik. Baru kemudian, kalau tidak bisa diselesaikan dalam hal penghitungan hasil pemilu, maka itu semuanya diselesaikan di Mahkamah Konstitusi,” ucap Arief.
Namun demikian, tambah Arief, tidak semua sengketa hasil Pilkada harus diselesaikan oleh MK. Pembentuk undang-undang sudah menentukan persyaratan terhadap perselisihan pemilu yang bisa diselesaikan oleh MK. Penyelesaian sengketa hasil Pilkada dilakukan di MK kalau selisih perolehan suaranya tipis antara pihak yang bersengketa. “Kalau selisih perolehan suara antara pihak yang bersengketa sudah jauh sekali, maka tidak perlu diselesaikan di MK. Ini membutuhkan kultur hukum, kultur politik untuk menerima kekalahan dan menerima kemenangan,” tegas Arief.
Arief juga mengungkap sejumlah daerah di Indonesia yang berpotensi memiliki intensitas tinggi untuk sengketa hasil Pilkada. Daerah-daerah tersebut adalah Aceh, Sumatera Utara terutama Nias, kemudian Lampung, Sumatera Selatan, beberapa daerah di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, Maluku Utara dan Papua.
Lebih lanjut Arief menyampaikan, penyelesaian sengketa hasil Pilkada oleh MK diagendakan mulai dari sejak KPU mengumumkan keputusan mengenai hasil Pilkada. “Jadi itu sekitar tanggal 18, 19 Desember 2015 sudah ada pengumuman dari KPU. Kemudian ada proses pendaftaran perkara sengketa hasil Pilkada, sidang pemeriksaan pendahuluan, Rapat Permusyawaratan Hakim MK sampai penjatuhan putusan MK. Jadi pada awal Maret 2016 semua sidang perkara sengketa hasil pilkada harus selesai,” imbuh Arief.
Pada kesempatan itu Arief meminta dukungan Polri untuk ikut menyukseskan penyelenggaran sidang penyelesaian perselisihan hasil Pilkada agar berjalan damai, tertib dan aman. Di antaranya, peningkatan peran Polri demi efektivitas Sentra Gakkumdu, sehingga tidak semua perkara dibawa ke MK. Arief berharap Polri menyelesaikan penanganan pelanggaran pidana sesuai dengan tenggat waktu yang disediakan oleh undang-undang. Sehingga pada saat persidangan perselisihan hasil Pilkada dilakukan oleh MK, proses hukum telah selesai.
Selain itu, Polri juga diharapkan dapat melakukan pengamanan terhadap Hakim Konstitusi ketika menjalankan tugas konstitusional serta menjaga agar terhindar dari kondisi atau peristiwa yang dapat mengancam dan merugikan independensi maupun imparsialitas Hakim Konstitusi. Juga perlu dilakukannya pengamanan terhadap area gedung MK, terutama saat dilaksanakan persidangan MK, serta pengamanan lokasi video conference di 43 perguruan tinggi yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia. Selanjutnya, pengamanan terhadap saksi-saksi, para pihak, baik penyelenggara Pilkada, peserta maupun pihak terkait. Di samping itu, pengamanan terhadap pelaksanaan putusan sela yang berupa perintah untuk menyelenggarakan Pilkada ulang. (Nano Tresna Arfana)