Oleh:Bambang Arianto
Peneliti Politik di Bulaksumur Empat, Mahasiswa S2 Jurusan Politik dan Pemerintahan (S-JPP) Fisipol UGM, Penulis Buku “Kampanye Kreatif”
Tulisan Muhammad Erfa Redhani di Tribun Forum Banjarmasin Post (10/8/15) cukup menarik untuk didiskusikan terkait ihwal kepemimpinan transformatif. Kepemimpinan yang berpihak kepada kepentingan orang banyak dan kemaslahatan masyarakat.
Mafhum disadari, ritus demokrasi lokal, seperti pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2015 dapat menjadi ajang kontestasi melahirkan pemimpin lokal yang berwatak transformatif. Tentu saja hal ini diawali oleh hadirnya fenomena kepemimpinan transformatif dalam historiografi politik Indonesia yang terbukti dapat mendobrak oligarki partai politik. Sebut saja, model kepemimpinan yang ditampilkan oleh figur Tri Rismaharini Wali Kota Surabaya, Jawa Timur; Ridwan Kamil Walikota Bandung Jawa Barat; hingga Basuki Cahya Purnama Gubernur DKI Jakarta.
Harus diakui kepemimpinan transformatif populer sejak kehadiran Presiden Joko Widodo ketika menjabat sebagai Wali Kota Surakarta, yang sekaligus menjadi penanda awal tipe kepemimpinan transformatif di Indonesia. Model kepemimpinan transformatif yang diilhami oleh sosok Jokowi seolah merepresentasikan diri sebagai masyarakat biasa, sederhana, jujur, responsif, dan apa adanya sehingga menjadi simbol gerakan rakyat. Gagasan yang ditawarkan amat taktis, mudah dipahami dan rasional. Hal ini dapat memberi harapan perubahan bila model kepemimpinan transformatif dipercaya dapat mengusung moralitas, etika politik, nilai-nilai keteladanan dan berbagai kebijakan prorakyat.
Dinamika kepemimpinan transformatif juga tergambar dari cara berkomunikasi interaksional melalui silaturahmi di tengah rakyat. Dengan diksi komunikasi yang sederhana, aplikatif, taktis, dan diaksentuasi niat pribadi dapat menjadi penyebab mengapa kepemimpinan transformatif banyak mendapat dukungan publik. Salah satu gaya fenomenal dalam model kepemimpinan transformatif yakni blusukan.
Dalam konteks demokrasi, blusukan menjadi sangat relevan saat sebuah rezim yang berkuasa mengklaim pemerintahannya demokratis. Bahkan menurut Somerville (2011) praktik blusukan dinilai selaras dengan prinsip utama demokrasi, yakni kesetaraan karena memotong jarak antara pemimpin dan rakyat.
Itu mengapa sosiolog Novri Susan (2013), pernah menawarkan konsep habitus kepemimpinan transformatif yang merupakan praktik ideal dari interaksi dinamis antara kepentingan umum dan konteks struktur yang demokratis. Alhasil, elite kekuasaan dalam habitus kepemimpinan transformatif memilih praktik komunikasi diskursif dengan publik secara transparan dan partisipatif. Praktik komunikasi diskursif tersebut mengelola konflik secara negosiatif dan inklusif antara konsep kekuasaan dan aspirasi publik.
Interaksi ideal konsep kepentingan publik dengan konteks struktur demokratis dapat menciptakan praktik-praktik kepemimpinan yang menciptakan perubahan progresif. Dalam konteks ini diharapkan adanya praktik internalisasi yang dapat mempengaruhi jajaran kepemimpinan di dalam wilayah otoritas politik seperti wali kota terhadap pejabat birokrasi, camat, dan lurah. Selain itu, internalisasi spesifik ditandai oleh kemauan dan intensitas pemimpin turun ke lapangan untuk mendorong kepemimpinan di bawahnya menjalankan tugas kepemerintahan sesuai mandat konstitusi dan demokrasi, sehingga menghasilkan sifat kepekaan.
Kepekaan yang dimiliki inilah yang menjadi aspek utama bagi hadirnya pemimpin yang memperhatikan dan mendengarkan suara hati nurani rakyat. Sifat kepekaan ini akan selalu mengambil inspirasi memimpin dari hidup rakyat yang ditopang oleh berbagai jenis kecerdasan yang menyokong kinerja pemerintahan. Hal ini diperlukan guna mewujudkan hidup rakyat yang lebih bahagia, adil dan baik-sekaligus menekan berbagai kesenjangan-kesenjangan sosial di aras publik.
Kendala Kepemimpinan
Kendala terbesar yang dihadapi dalam mendorong kepemimpinan transformatif di aras (tingkat) lokal yakni masih menggejalanya parasit demokrasi lokal. Seperti, fenomena politik kekerabatan atau dinasti politik. Meski di awal-awal pelembagaan desentralisasi (otonomi daerah) pola ini belum terlihat.
Dalam konteks demokrasi lokal, politik kekerabatan di Indonesia berawal dari hasil kombinasi tekanan politik sentripugal (sentralisasi) pada masa pemerintahan Soeharto dan tekanan politik sentripetal (desentralisasi) pasca-Suharto (Nordholt, 2005). Namun memasuki dekade kedua pascareformasi, kecenderungan menguatnya politik kekerabatan semakin kentara, apalagi semenjak era pemilihan kepala daerah langsung.
Realitas ini mengonfirmasi bahwa politik kekerabatan dan oligarki politik yang dibangun berdasarkan nilai-nilai patrimonial, telah terjadi di beberapa daerah (Nordholt dan van Klinken, 2007). Politik kekerabatan berpotensi dapat mengiring model kepemimpinan pencitraaan, yang tidak lagi mengenal kompetisi yang adil, dan jauh dari prinsip-prinsip transformatif. Itulah mengapa, Thomas Meyer (2002) menyatakan bahwa politik kekerabatan berdasarkan garis keturunan merupakan salah satu musuh utama demokrasi yang dapat menimbulkan ancaman struktural terhadap demokrasi dan kepemimpinan politik di aras lokal.
Pasalnya, politik kekerabatan akan mendorong munculnya politik plutokrasi, yakni sistem politik yang hanya menempatkan orang-orang dengan kekuatan finansial besar yang akan terpilih. Kandidat politik bermodal besar akan lebih leluasa menggunakan uangnya untuk membeli suara rakyat. Artinya, politik plutokrasi dapat mendorong lahirnya perburuan rente dalam jebakan birokrasi negara dan pemerintahan, yang kerap melahirkan pemimpin miskin etos serta menyuburkan praktik patronase dan klientalisme politik.
Mengutip Edward Aspinall dan Mada Sukmajati (2014) praktik patronase memiliki dua pola, yakni patronase pra pemilihan dan pasca pemilihan. Patronase pra pemilihan, seperti pembagian uang, sembako, maupun pemberian bantuan sosial lain yang dilakukan sebelum pemilihan. Sedangkan, patronase pasca pemilihan, seperti pemberian proyek-proyek pemerintah kepada para tim sukses maupun jabatan strategis pasca pemilihan. Alhasil, praktik patronase dan klientalisme politik dapat menghambat lahirnya model kepemimpinan transformatif.
Singkat kata, dalam ritus Pilkada serentak 2015, kita berharap akan banyak lahir pemimpin lokal yang berkomitmen mengedepankan kepemimpinan transformatif. Oleh sebab itu, sejatinya pemilih terutama di aras lokal, perlu segera melakukan evaluasi kritis terhadap para calon kepala daerah yang akan berkontestasi dalam Pilkada serentak.
Para kandidat politik yang telah memiliki rekam jejak sebagai pemimpin lokal yang korup, abai pada aspirasi rakyat, dan enggan berdialog dengan rakyat perlu ditinggalkan. Dengan begitu, kontestasi politik di aras dapat dimenangkan oleh figur yang mau berkomitmen mengedepankan kepemimpinan transformatif. (*)