Padahal, pasal tersebut telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi setelah melalui uji materi atau judicial review pada 2006 lalu (Kompas.com, 5/8/15). Gambaran tersebut menjelaskan kontroversi yang terjadi seputar hadirnya wacana Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) yang ingin menghidupkan kembali pasal penghinaan Presiden. Meskipun Presiden Jokowi telah mengatakan bahwa usulan tersebut masih sebatas rancangan yang ingin mempertegas definisi antara fitnah dan kritik.
Selain itu Presiden Jokowi menilai, pasal itu ada, untuk melindungi presiden sebagai simbol negara. Namun, wacana tersebut sontak membuat masyarakat sipil, pegiat demokrasi, media massa dan publik merasa risau dan terancam. Dalam Pasal 263 RUU KUHP ayat 1 yang disebutkan bahwa “Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV”. Pada ayat selanjutnya ditambahkan, “tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri”.
Jika menilik perjalanan sejarah Indonesia, diketahui pasal penghinaan Presiden, merupakan warisan pemerintahan kolonial Belanda. Saat itu pemerintah kolonial Belanda memberlakukan hukum pidana tertulis dengan asas konkordasi. Undang-Undang (UU) yang digunakan adalah Wetboek van Strafrecht Stadblad 1915 No 732. Tapi, terhitung 8 Maret 1942, ketika adanya peralihan kekuasaan dari pemerintah Hindia Belanda kepada Jepang di Indonesia, Wetboek van Strafrecht Stadblad tidak lagi gunakan.
Namun, setelah Indonesia merdeka, Wetboek van Strafrecht Stadblad masih tetap dipergunakan dan diberlakukan sebagai kitab UU hukum pidana Indonesia berdasarkan UU No 1 tahun 1946 jo UU No 73 Tahun 1958. Tapi, pada tahun 2006 Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk menghapus pasal penghinaan kepada Presiden. Dengan alasan, pembaharuan hukum pidana tersebut dipandang tidak mampu mengikuti perkembangan pemikiran atau ide dan aspirasi tuntutan atau kebutuhan masyarakat baik nasional maupun internasional (Lambang B, 2009).
Putusan tersebut mendapat apresiasi dari Dewan HAM Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang menilai bahwa Indonesia telah mampu melampaui peradaban di negara-negara seperti Belgia, Swedia, dan Belanda, yang masih menerapkan pasal penghinaan terhadap Presiden. Selain itu, menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshidiqie, di negara-negara yang masih terdapat pasal penghinaan Presiden, sampai saat ini tidak pernah lagi digunakan karena peradaban yang semakin maju.
Berdasarkan gambaran tersebut, jika kemudian pasal penghinaan Presiden kembali dihidupkan, itu artinya, bangsa ini telah mengalami kemunduran dalam proses pelembagaan demokrasi. Pasalnya, wacana pasal penghinaan presiden dapat membungkam kebebasan warga negara, terutama dalam rangka menyampaikan pikiran dan pendapat.
Padahal, kebebasan berpendapat merupakan hak asasi setiap warga negara yang dijamin oleh konstitusi, terutama yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu, pasal penghinaan presiden dapat melahirkan kultur feodal, manakala para penegak hukum terlalu sensitif pada setiap penentangan terhadap kepala negara yang masih dianggap sebagai simbol negara itu.
Selama ini para penegak hukum menilai bahwa jabatan Presiden dan Wakil Presiden merupakan lambang negara. Padahal, lambang negara sudah diatur secara khusus dalam Pasal 36 A Undang-Undang Dasar 1945. Lambang negara yang diatur dalam konstitusi adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, dan bukan Presiden-Wakil Presiden.
Jika pasal itu diberlakukan, bukan tidak mungkin dapat membungkam hak kebebasan berpendapat untuk melakukan protes terhadap pemerintah, baik protes melalui aksi jalanan maupun melalui tulisan seperti opini publik di media massa. Itu artinya, pasal penghinaan terhadap Presiden dapat mencoreng jiwa dari UUD 1945 dan hakikat ajaran revolusi mental yang selalu digelorakan oleh Presiden Jokowi.
Mengutip penyataan Bambang Arianto (2015) dampak dari pemberlakuaan pasal penghinaan Presiden selama ini, telah banyak menimbulkan luka di hati rakyat Indonesia yang dapat membuat rakyat menjadi malas untuk merangkai kembali sebuah untaian momentum peristiwa masa lalu.
Dalam pemerintahan Orde Baru saja, banyak ditemui tindakan represi atas kebebasan berpendapat yang menyebabkan trauma bagi rakyat. Bahkan peristiwa yang lahir sebagai dampak dari keterkuncian kebebasan berpendapat tersebut hingga saat ini belum juga terungkap. Seperti insiden penculikan aktivis pro-demokrasi 1996, pembunuhan Fuad Muhammad Syafruddin jurnalis Harian Bernas, peristiwa 13-15 mei 1998, hingga berbagai kejahatan kemanusiaan lainnya.
Akhirnya, kita sebagai warga negara telah sepakat untuk mewujudkan hakikat demokrasi yang ditandai dengan kebebasan menyatakan pendapat dan menentukan pilihan. Bahkan kesepakatan ini telah menjadi ikrar bersama warga negara Indonesia ketika menyatakan sebagai negara-bangsa penganut demokratis.
Oleh karena itu, tidak ada cara lain menyelesaikan wacana pasal penghinaan presiden dengan bersama-sama menolak kehadiran pasal tersebut di negara yang bercorak demokrasi. Pilihan untuk menolak pasal tersebut merupakan cara terbaik agar rakyat tidak kembali mengalami penindasan seperti dalam pemerintahan Orde Baru. Sebab, demokrasi akan tumbuh jika kekebasan berpendapat tidak dibungkam oleh siapa pun, termasuk oleh rezim pemerintahan.
Kita berharap, Presiden Jokowi dapat mendengar protes masyarakat sipil, warga negara dan media massa untuk menolak kembalinya pasal penghinaan Presiden tersebut. Artinya, untuk menjaga tegaknya negara demokrasi, haruslah ditempuh dengan menghadirkan model pemerintahan egaliter yang memberikan kesempatan yang luas bagi warga negara untuk melakukan kritik, bukan dengan cara membungkam suara rakyat. (*)