Mahkamah Agung (MA) sebagai Pihak Terkait menghadirkan pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra sebagai ahli dalam sidang uji materiil Undang-Undang Peradilan Umum, Undang-Undang Peradilan Agama dan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara. Permohonan yang terdaftar dengan nomor 43/PUU-XIII/2015 tersebut diajukan oleh jajaran pengurus pusat Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), yakni Imam Soebechi, Suhadi, dkk.
Yusril berpandangan, seharusnya proses seleksi Hakim Pengadilan Umum, Hakim Pengadilan Agama dan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara sepenuhnya berada di tangan MA tanpa melibatkan Komisi Yudisial (KY). Menurutnya, kewenangan KY dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 hanya sebatas memberikan usulan atas pengangkatan Hakim Agung. Wewenang tersebut limitatif, tidak lebih dan tidak kurang. Selain itu, UUD 1945 juga tidak memberikam wewenang kepada pembentuk undang-undang untuk memperluas kewenangan KY kecuali apa yang secara tegas telah dinyatakan dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945. Untuk itu, Yusril dengan tegas mengatakan, keterlibatan KY dengan menambahkan tugasnya dalam menyeleksi hakim di tiga lingkungan peradilan tersebut bertentangan dengan Konstitusi
“Kalau sudah seperti ini, menambah-nambahi kewenangan melebihi apa yang secara limitatif diatur di dalam norma Konstitusi dan mengaturnya dalam norma undang-undang adalah langkah yang inkonstitusional, bertentangan dengan Konstitusi, sehingga amatlah pantas bagi MK untuk menyatakannya sebagai tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Tidaklah benar untuk mengatakan karena UUD 1945 tidak melarang KY untuk ikut menyeleksi calon-calon Hakim selain Hakim Agung, maka pengaturan demikian di tingkat undang-undang menjadi boleh adanya. Kalau Konstitusi telah membatasi kewenangan maka janganlah kiranya pembentuk undang-undang menambah-nambahi kewenangan yang sudah ada itu,” urai Yusril di hadapan Pleno Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman pada Selasa (11/8), di Ruang Sidang Pleno MK.
Sementara itu, KY sebagai Pihak Terkait diwakili Komisioner KY Taufiqurrahman Syahuri menampik pandangan tersebut. Baginya kewenangan KY dalam menyeleksi hakim di tiga lingkungan peradilan merupakan hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang. Menurutnya, seleksi pejabat negara bisa dilakukan melalui berbagai cara, antara lain melalui Pemilihan Umum, melalui DPR, Pansel Ad Hoc dan Pansel Tetap. Sehingga dalam hal ini, KY hanya ingin taat melaksanakan undang-undang yang telah memerintahkan KY dan MA bersama-sama melakukan seleksi pengangkatan hakim.
Kemudian, secara tegas Taufiqurrahman mengatakan bahwa UUD 1945 juga tidak mengatur perihal keuangan, organisasi dan pengawasan etik bagi MA. Pengaturan ketiganya hanya diatur dalam undang-undang. Sehingga hal yang sama juga berlaku bagi kewenangan KY dalam melakukan seleksi calon hakim yang hanya diatur dalam undang-undang. “Jadi logika limitatif ini sangat tidak benar. Bahkan dalam pemilihan Kepala Daerah, Wakil Gubernur, Wakil Bupati, Wakil Walikota sama sekali tidak disebut dalam UUD 1945. Kenapa ada? Karena UU mengatur seperti itu,” ucapnya.
Sebelumnya, jajaran pengurus pusat IKAHI yakni Imam Soebechi, Suhadi, dkk mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang Peradilan Umum, Undang-Undang Peradilan Agama dan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara. Para Pemohon mempersoalkan pengaturan keterlibatan KY dalam proses seleksi Hakim Pengadilan Umum, Hakim Pengadilan Agama dan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara.
Menurut para Pemohon, keterlibatan KY dalam proses seleksi hakim dapat menimbulkan intervensi suatu lembaga terhadap lembaga lain dan merusak mekanisme checks and balances. Hal ini juga menimbulkan ketergantungan MA kepada KY dalam hal seleksi pengangkatan hakim pada badan peradilan di bawah MA. Para Pemohon beranggapan, kewenangan KY dalam UUD 1945 bersifat limitatif, sehingga hanya terbatas pada ‘mengusulkan pengangkatan Hakim Agung’. Hal ini yang kemudian menurut para Pemohon menimbulkan ketidakpastian hukum serta potensial melanggar prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka. (Julie)