Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (11/8) siang. Kedatangan mereka diterima oleh peneliti MK Ajie Ramdan, yang kemudian mengisinya dengan kegiatan diskusi.
“Sebelum amandemen UUD 1945, Indonesia menganut supremasi parlemen. Tapi pasca amandemen ketiga UUD 1945, Indonesia menganut supremasi konstitusi,” ujar Ajie Ramdan.
Pada pertemuan itu, Ajie memaparkan sejarah singkat lahirnya ide pengujian undang-undang di Indonesia sejak masa kemerdekaan. Menurutnya, ide untuk memberikan wewenang kepada Balai Agung (sekarang Mahkamah Agung) untuk membanding (menguji) undang-undang telah diutarakan Moh. Yamin dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Namun, ide tersebut ditolak oleh Soepomo karena Undang-Undang Dasar yang disusun tidak menganut prinsip pemisahan kekuasaan, melainkan pembagian kekuasaan. “Posisi MPR saat itu merupakan lembaga tertinggi negara,” imbuh Ajie.
Bertahun-tahun kemudian, pasca reformasi, terjadi amandemen UUD 1945. Soal pengujian undang-undang kembali diusulkan, hingga dibentuknya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK) pada 13 Agustus 2003. MK memilliki kewenangan utama menguji undang-undang terhadap UUD (constitutional review). “Apabila ada undang-undang yang bertentangan dengan UUD, bisa diuji, bisa di-challenge,” kata Ajie.
Selain itu, MK mempunyai kewenangan memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, serta wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
Ajie juga mengungkapkan sejumlah peran MK yaitu sebagai the guardian of constitution, the final interpreter of constitution, the guardian of democracy, the protector of citizen’s constitutional rights dan the protector of human rights. MK berperan sebagai the guardian of constitution diartikan bahwa MK sebagai pengawal konstitusi. Sedangkan MK berperan sebagai the final interpreter of constitution diartikan bahwa tidak ada institusi lain yang berwenang menafsirkan konstitusi, namun hanya MK.
Kemudian MK sebagai the guardian of democracy diartikan bahwa MK merupakan penjaga demokrasi. Selanjutnya, MK berperan sebagai the protector of citizen’s constitutional rights diartikan, MK sebagai pelindung hak-hak konstitusional warga negara. Lalu, MK sebagai the protector of human rights diartikan bahwa MK sebagai pelindung hak-hak asasi manusia.
Lebih lanjut Ajie menjelaskan sekilas sejarah pengujian undang-undang terhadap UUD berdasarkan pemikiran pakar/ahli hukum Hans Kelsen pada 1920. “Bagaimana caranya ada lembaga yudikatif yang mengawal konstitusi dan hak-hak konstitusional warga negara. Pemikiran Kelsen terus berkembang hingga akhirnya terbentuk Mahkamah Konstitusi pertama kali di dunia yaitu di Austria pada 1932,” tandas Ajie. (Nano Tresna Arfana)