Mahkamah Konstitusi (MK) akan menggelar sidang judicial review atas Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terhadap UUD 1945 pada hari Selasa 5 Desember 2006 pukul 10.00 WIB di ruang sidang gedung MK, Jl. Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat. Persidangan ini mengagendakan mendengarkan keterangan Ahli dari Pemohon.
Dalam petitum perkara ini, Pemohon meminta Majelis Hakim Konstitusi untuk menyatakan frasa dalam Pasal 21 Ayat (1) KUHAP yang berbunyi: melakukan tindak pidana dan frasa dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran, dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap karena bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 28G Ayat (1), dan Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945.
Dalam rangka memperoleh jawaban dari Majelis Hakim MK atas petitum di atas, pada persidangan sebelumnya, telah didengar keterangan Pemerintah, Pihak Terkait (Kejaksaan dan Kepolisian) dan Ahli dari MK Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H. sebagai ahli dan Ketua Tim RUU KUHAP.
Dalam keterangannya, Pihak Terkait dari Kejaksaan Agung Yosep Suwardi Sabdah mengatakan adanya alasan subyektif memang memberikan diskresi atau keleluasaan pada pihak penyidik, penuntut umum, bahkan juga hakim. UUD 1945 tidak memuat ketentuan yang melarang pemberian diskresi. Timbulnya praktik negatif akibat alasan subyektif penahanan tidak mengakibatkan ketentuan Pasal 21 Ayat (1) KUHAP menjadi inkonstitusional. Pemerintah pun berpendapat bahwa praktik semacam ini harus dihentikan. Namun, caranya tidak dengan menyatakan Pasal 21 Ayat (1) inkonstitusional hanya karena pelaksanaan ketentuan itu tidak sesuai dengan yang diharapkan, jelas Sabdah.
Senada dengan Sabdah, Brigjen. Polisi Rasyid Ridho mengatakan kewenangan subyektif ini sangat bergantung dengan situasi di lapangan. Syarat subyektif menurut kami juga diperlukan untuk menegakkan rasa keadilan atau paling tidak untuk mengantisipasi situasi kekhawatiran, tambah Ridho.
Sementara itu, Ahli dari MK Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H. memaparkan bahwa penyusunan KUHAP ini agak keliru karena sahnya penahanan berada di Ayat (4) sedangkan perlunya penahanan di Ayat (1). Jadi ada orang yang kurang mikir, bahwa orang kalau ada tanda melarikan diri bisa ditahan, padahal dia tidak melakukan tindak pidana lima tahun ke atas, jelas Andi.
Selain itu, lanjut Andi, yang bermasalah sebenarnya bukan normanya melainkan cara memakai norma itu. It is not the formula that decide the issue, but the man who have to apply the formula, it is not Pasal 21 decide the issue, but the police decide the issue, yang menjalankan aturan itulah yang lebih penting, lanjut Andi. Berdasarkan pengalaman itu, dalam RUU KUHAP praperadilan sudah diganti dengan hakim komisaris yang akan melakukan penahanan selama lima belas hari.
Dalam kesempatan ini, Prof. Andi Hamzah juga menambahkan adanya interpretasi baru yang sekarang mulai diperkenalkan yaitu anticiperende interpretatie atau penafsiran futuristik, bahwa suatu peraturan yang sedang digodok di DPR hendaknya diperhitungkan dalam menafsirkan suatu peraturan karena itu juga akan terjadi. Jadi, KUHAP yang sekarang kita jalankan dengan memerhatikan apa yang akan terjadi di masa depan, papar Andi. (Wiwik Budi Wasito)