Asas dan prinsip negara hukum yang dianut dalam konstitusi Republik Indonesia meniscayakan setiap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta penyelenggaraan pemerintahan harus senantiasa berdasarkan atas hukum, tidak terkecuali untuk aspek penyelenggaraan olahraga di Tanah Air. Rasionalitas dan pemikiran seperti inilah yang menjadi raison d'etre lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (UU SKN).
UU SKN ini dibentuk dengan tujuan mengakomodasi dinamika dan tuntutan perkembangan masyarakat olahraga, baik dalam lingkup nasional maupun secara global. Hal yang sangat penting disadari adalah penyelenggaraan keolahragaan menurut UU tersebut menganut prinsip demokratis dan nondiskriminatif yang menghendaki dan menjamin kebebasan dan peran serta masyarakat dalam berolahraga, baik secara pribadi maupun kolektif dalam bentuk organisasi atau induk organisasi cabang olahraga. Dengan demikian, ada pembatasan kewenangan dan intervensi negara dalam setiap aspek penyelenggaraan keolahragaan, hubungan negara dengan masyarakat pelaku olahraga dibatasi dalam bentuk pola kemitraan (partners relationship), duduk sama rendah dan tegak sama tinggi. Masyarakat pelaku olahraga bukanlah subordinasi dari negara.
Menelisik sengketa dan kemarut yang terjadi di PSSI saat ini karena adanya pembekuan organisasi dan pengurus oleh pemerintah berdasarkan keputusan menteri pemuda dan olahraga, tidak bisa kita lepaskan dari konteks penyelenggaraan olahraga profesional, dalam hal ini terkait dengan penyelenggaraan roda kompetisi liga profesional. Dalam regulasi olahraga profesional, campur tangan negara/pemerintah sangat dibatasi. Dalam lingkup internasional, otonomi olahraga beserta segenap jejaringnya bahkan sudah berlangsung dengan baik dalam hitungan satu abad lebih tanpa intervensi negara dan para pelaku lainnya (Geeraert et al; 2012). Ironisnya, di Indonesia sendiri akhir-akhir ini negara melalui pemerintah justru menunjukan tendensi yang berbeda dengan memperlihatkan kegetolannya mengintervensi otonomi dan independensi organisasi olahraga, seperti yang terjadi pada PSSI saat ini.
Dalam konteks politik dan ketatanegaraan, otonomi masyarakat pelaku olahraga dapat ditelusuri melalui teori sosial kontraknya John Locke yang menggagas ide bahwa negara per se, adalah salah satu bentuk asosiasi sukarela dari para individu warganya. Sebagai asosiasi sukarela mereka berhak untuk menentukan entitasnya dan menciptakan aturannya. Konsekuensinya, di Inggris sendiri, negara tidak memiliki nafsu yang besar untuk mengatur dan mengintervensi warganya. Pengaruh ide inilah yang menyebar luas dalam struktur pengaturan dunia sepakbola dengan lahirnya FIFA pada tahun 1904 atas dasar keyakinan para pendirinya akan pemisahan olahraga dari intervensi negara sebagai salah prinsip dasarnya (Tomlinson;2000). Begitu pula sebaliknya, berpijak dari hasil amendemen UUD 1945 pada 1999 sampai dengan 2002 yang mengakui dan menjamin hak warganegara untuk berkumpul dan berserikat, berekspresi, mendapatkan penghidupan yang layak serta mengembangkan diri dan memperoleh manfaat dari seni dan budaya seharusnya menjadi dasar bertindak bagi negara hingga sampai pada pengambilan keputusan untuk mengintervensi otonomi dunia olahraga seperti yang mereka lakukan pada PSSI saat ini.
"Lex Sportiva"
Otonomi masyarakat olahraga dalam perkembangannya telah melahirkan kewenangan untuk mengatur diri sendiri yang dirumuskan dalam bentuk norma, standar, dan prosedur tersendiri dalam bentuk statuta dan aturan main (rules of the game) oleh masing-masing asosiasi internasional olahraga tersebut, di mana setiap federasi olahraga di tingkat nasional tunduk dan terikat kepada aturan tersebut. Demikian pula dengan Statuta FIFA yang mengikat bagi PSSI sendiri. Inilah yang dikenal dengan istilah lex sportiva yang merupakan hukum yang khusus (lex specialis) yang berlaku bagi pengaturan penyelenggaraan sepakbola secara internasional karena bersumber dari tatanan konstitusional yang diciptakan oleh FIFA bersama dengan federasi nasional yang dibawahinya.
Lebih jauh lagi, statuta tersebut memiliki basis kontraktual formal dan mendapatkan legitimasinya sendiri dari persetujuan sukarela atau penundukan diri secara sukarela ke dalam yurisdiksi federasi internasional tersebut oleh para pelakunya. Statuta tersebut bahkan juga otonom dari tatanan sistem hukum nasional setiap negara anggotanya.
Bahkan, UU SKN dalam Pasal 88 Ayat (2) secara eksplisit mengakui hal tersebut terkait penyelesaian sengketa keolahragaan dengan membolehkan salah satu mekanisme penyelesaian sengketa melalui arbitrase, sebagaimana yang dipraktikkan oleh the Court of Arbitration for Sport (CAS) selaku pengadilan arbitrase internasional untuk sengketa keolahragaan. Amat mengherankan dalam kasus pembekuan PSSI ini, pemerintah malah bertindak melampaui kewenangannya (ultra vires) dengan menjadi hakim yang mengadili perkara, di mana tidak ada pihak yang bersengketa sama sekali.
Meskipun di dalam konsideran menimbang dan penjelasan umum UU SKN sendiri digambarkan maksud si pembuat undang-undang membentuk aturan tersebut antara lain untuk mengakomodasi dinamika global yang berkembang dalam dunia olahraga itu sendiri, ternyata hampir tidak ada satu pun norma ataupun pasal yang mengatur bentuk hubungan yang jelas antara induk organisasi cabang olahraga, negara, dan federasi cabang olahraga internasional, seperti halnya hubungan antara PSSI, Kempora, dan FIFA pada saat ini.
Ke depan perlu digagas pemikiran untuk merevisi UU SKN tersebut agar benar-benar adaptif dan akomodatif dengan tuntutan global, dengan antara lain mereposisi kedudukan, kewenangan dan hubungan hukum yang jelas antara organisasi cabang olahraga nasional dan internasional, negara, pasar maupun masyarakat pelaku lainnya.
Eksklusivitas PSSI
Di sisi lain, PSSI dalam konteks nasional, maupun FIFA dalam konteks global, diyakini sebagai organisasi olahraga yang mandiri dan otonom dari pengaruh negara sekalipun. Oleh karenanya mereka memiliki kewenangan untuk rumah tangganya sendiri dengan aturan-aturannya sendiri yang bahkan cenderung dibuat dan dilaksanakan secara tertutup. Predikat otonom tersebut bahkan malah menimbulkan eksklusivitas organisasi dan para pelakunya yang bahkan terlihat samar bagi publik pencinta olahraga sekalipun.
Beberapa skandal dan isu korupsi, doping, pengaturan hasil pertandingan, penggelapan pajak, eksploitasi dan pengabaian hak-hak pemain, hingga kepengurusan yang oligarkis dan nepotis, serta tidak demokratis, jamak terlihat sehari-hari dalam sorotan publik maupun media. Bahkan isu-isu tersebut cenderung direspons dan disikapi dengan tidak transparan dengan alasan eksklusivitas aturan main tersebut sebagai tamengnya.
Tuntutan adanya upaya good governance, seperti yang pernah terjadi terhadap negara-negara dan badan-badan usaha gagal pada dekade 90-an, dalam tata kelola organisasi semakin mengemuka saat ini terhadap FIFA maupun PSSI sendiri. Sudah semestinya PSSI merefleksi eksklusivitas eksistensinya dengan menyikapi tuntutan dimaksud melalui transparansi dan akuntabilitas kinerja terhadap publik karena rasa cinta dan antusiasme publik yang sangat besar tersebut tidak dapat dikesampingkan begitu saja dengan berbagai kegagalan dan kekecewaan sebagaimana yang selalu mereka alami selama ini dari stadion ke stadion.
Sumber: http://www.beritasatu.com/blog/olahraga/4254-reposisi-negara-pssi-dan-lex-sportiva.html