Jakarta - Dewan Perwakilan Daerah (DPD) berharap pasal yang mengatur larangan penghinaan terhadap presiden harus diatur dengan cermat dan tepat. Pasal penghinaan sudah seharusnya diperlukan untuk mengatur dan memberi rambu-rambu dalam mengkritisi presiden dan lembaga kepresidenan.
Namun, kehadiran pasal itu tidak boleh membatasi dan mengekang kebebasan berekspresi serta berkreativitas dari warga negara. Setiap warga negara harus mendapat jaminan dalam mengembangkan ekspresi dan kreativitas. Tapi, di sisi lain, kebebasan tersebut tetap harus bertanggung jawab.
"Pasal larangan penghinaan itu mutlak diperlukan, supaya kita punya standar atau norma dalam mencela orang. Kalau tidak diatur, masak seenaknya memaki-maki presiden," kata anggota DPD dari Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Adrianus Garu, di Jakarta, Senin (10/8).
Sebagaimana diketahui, saat ini, DPR sedang membahas UU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Di dalamnya, ada pasal yang mengatur larangan penghinaan terhadap presiden. Aturan ini pernah muncul pada zaman Orde Baru. Namun dalam praktiknya, pasal itu lebih banyak dipakai untuk membungkam orang yang mengkritik presiden. Pasal itu kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Adrianus mengemukakan pengalaman-pengalaman buruk pada masa Orde Baru harus menjadi catatan penting dalam pembahasan RUU KUHP tersebut. Jangan sampai melahirkan pasal karet yang gampang sekali disalahgunakan untuk membungkam lawan politik atau mencari-cari kesalahan orang. Kehadiran pasal tersebut harus bisa memastikan orang tetap diperbolehkan melontarkan kritikan, tetapi harus memiliki etika dan sesuai aturan hukum yang berlaku.
Menurutnya, penolakan akan kehadiran pasal tersebut sangat tidak logis. Pasalnya, dalam sebuah negara demokrasi seperti Indonesia, pembatasan-pembatasan kebebasan tetap dilakukan supaya kebebasan-kebebasan yang ada tidak menjadi ancaman bagi orang lain.
Dia memberi contoh dalam kehidupan berkeluarga. Siapa pun pasti tidak mau orangtuanya dihina dan dicaci-maki seenaknya oleh orang lain. Orang tersebut pasti akan membela orangtuanya, karena, bagaimanapun yang dicaci-maki adalah orangtua yang melahirkannya.
Dalam kasus penghinaan terhadap presiden, berlaku hal yang sama. Presiden dan lembaga kepresiden adalah simbol negara. Dalam kapasitas seperti itu, sudah sepatutnya untuk dihargai dan dihormati, bukan seenaknya menghujat tanpa mengindahkan norma-norma yang berlaku.
"Presiden itu pemimpin kita dan simbol negara. Masak kita tidak hargai. Bagaimana kalau orangtua kita diperlakukan seperti itu. Pasti, tidak ada yang mau seperti itu. Jadi, larangan penghinaan itu harus dibuat tetapi bukan untuk menakuti-nakuti orang," tegas anggota Komisi IV DPR ini.
Sumber: http://www.beritasatu.com/nasional/298061-dpd-pasal-penghinaan-harus-diatur-dengan-cermat.html