Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang pengujian
Pasal 4 huruf c dan Pasal 7 huruf
a UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen) terkait tidak adanya kewajiban mencantumkan domisili/alamat lengkap perusahaan yang bertanggung jawab. Dalam sidang kali ini, para pemohon menghadirkan beberapa saksi fakta yang mengungkapkan produk barang atau jasa umumnya tidak mencantumkan alamat detail perusahaan.
“Ketika kita mau komplain atas produk yang terbukti mengandung kesalahan memuat informasi produk, kita tidak tahu kemana karena tidak ada detail alamat perusahaannya. Kalaupun dicantumkan hanya nama kota atau negaranya dalam kemasannya,” ujar Benny Batara Tumpang Hutabarat, saksi yang dihadirkan pemohon, dalam sidang di Mahkamah Konstitusi, Senin (10/8).
Benny mengaku setiap belanja produk makanan atau minuman seringkali melihat kandungan nutrisi, tanggal daluwarsa, dan produk buatan daerah/negara mana. Namun, masalah yang ditemui ketika membeli produk makanan/minuman terkadang ada ketidaksesuaian antara kandungan bahan makanan/minuman dengan tertera dalam kemasan.
Ia pernah memberi abon ikan patin yang disebut ada kandungan Dha, OMG3, tetapi belakangan terbukti tidak ada kandungan itu. Ada juga disebut tidak memakai bahan pengawet atau pewarna atau pemanis buatan, tetapi nyatanya ada. “Kalau di sektor jasa pelayanan rumah sakit saya belum pernah melihat, yayasan/perusahaan dan alamat penanggung jawabnya siapa?” ujarnya.
Saksi lainnya, Dedi Firdaus Yulianto, mengaku kesulitan mencari alamat sebuah perusahaan atau badan usaha ketika mengajukan gugatan merek ke Pengadilan Niaga. “Kesulitannya, mencari alamat perusahaan pemegang hak merek ke Dirjen Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) Kemenkumham harus bayar dan hasilnya cukup lama (dua bulan). Atau kita mencari sendiri ke alamat yang bersangkutan,” kata Dedi.
Di luar merek, lanjutnya, informasi perusahaan bisa diperoleh melalui Dinas Perdagangan pada Kantor Pemerintah Daerah setempat. Pihaknya juga terkadang kesulitan mendapatkan informasi dokumen surat keterangan perusahaan dan tanda daftar perusahaan (TDP). Selain dikenakan biaya, kesulitan juga dialami karena posisi Dedi sebagai
corporate lawyer perusahaan lain sebagai pihak lawan dalam sengketa di pengadilan.
“Kalaupun mendapat informasi perusahaan, terkadang alamatnya tidak
valid. Misalnya, dalam TDP beralamat di daerah tertentu, tetapi faktanya sudah tidak disitu lagi,” katanya.
Keterangan para saksi ini berkaitan dengan permohonan pengujian UU Perlindungan Konsumen. Samuel Bonaparte, Ridha Sjartina, dan Satrio Laskoro memohon pengujian Pasal 4 huruf
c dan Pasal 7 huruf
a UU Perlindungan Konsumen. Pasal 4 huruf
c menjamin
hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa. Lalu, Pasal 7 huruf
a mengatur kewajiban pelaku usaha beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
Ketentuan tersebut dinilai tidak mencantumkan hak konsumen mendapatkan informasi yang benar dan lengkap atas nama badan hukum dan domisili badan hukum (rumah sakit) dari produk barang dan atau jasa yang dibeli konsumen. Selain itu, tidak ada kewajiban bagi produsen mencantumkan nama badan hukum dan domisili lengkap yang bertanggung jawab atas produk barang atau jasa yang dibeli konsumen.
Alasannya, salah satu pemohon pernah mengalami kasus malpraktik di sebuah rumah sakit dan kesalahan domisili
developer penjualan rumah. Namun, ketika proses sidang gugatan pelanggaran hak konsumen seringkali tidak diterima pengadilan dengan alasan error in persona. Penggugat dinilai salah alamat menggugat lantaran alamat yang digugat bukan pihak yang bertanggung jawab. Kedua pasal itu diminta tafsir bersyarat yang mewajibkan pelaku usaha mencantumkan nama badan hukum dan domisili yang lengkap yang bertanggung jawab atas setiap produk barang atau jasa yang dijual. Pemerintah sudah menyampaikan pandangan atas permohonan uji materi ini, dan menganggap langkah para pemohon keliru.