Sidang perbaikan permohonan uji materi Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN) - Perkara No. 76/PUU-XIII/2015 digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (10/8) siang. Hadir dalam persidangan, Demmy Pattikawa selaku Pemohon didampingi anaknya Hendri Pattikawa sebagai kuasa hukum.
Pada sidang tersebut, Hendri menyatakan telah melakukan perbaikan petitum permohonan sesuai saran Majelis Hakim pada sidang sebelumnya. Selain itu, perbaikan juga dilakukan terhadap kesalahan penulisan pada pokok permohonan.
Dalam perbaikan petitum, Pemohon meminta agar Pasal 55 UU PTUN bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa gugatan masih bisa diajukan melewati jangka waktu waktu 90 hari jika kelalaian mengajukan gugatan bukan berasal dari pihak penggugat.
“Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memberikan tafsiran konstitusional terhadap Pasal 55 Undang-Undang PTUN Nomor 5 Tahun 1986, sehingga Pasal 55 Undang-Undang PTUN Nomor 5 Tahun 1986 tersebut dimaknai sebagai berikut: Gugatan PTUN ini tidak dibatasi oleh jangka waktu 90 hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya keputusan badan atau pejabat tata usaha negara selama layak dan dapat dibuktikan bahwa kelalaian untuk mengajukan gugatan tersebut bukan akibat dari pihak pengunggat,” pinta Hendri kepada Majelis Panel yang dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo yang didampingi Hakim Konstitusi Patrialis Akbar dan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul.
Kemudian terkait kesalahan penulisan dalam pokok permohonan, Pemohon memperbaikinya dengan mengganti frasa ‘oleh yang berhak’ menjadi ‘oleh pejabat yang berwenang’. “Telah kami revisi menjadi surat keputusan PHK tidak ditandatangani oleh pejabat yang berwenang, yaitu Bapak Martono Sudoro sebagai Pimpinan Unit Pertamina Cirebon. Itu yang telah kami perbaiki Yang Mulia,” ucap Hendri.
Menanggapi perbaikan permohonan, Hakim Konstitusi Suhartoyo menyatakan akan menyampaikan hasil perbaikan permohonan ke Rapat Permusyawaratan Hakim. “Jadi nanti yang akan memutuskan adalah Pleno sembilan hakim, apakah permohonan Bapak ini nanti dapat dipertimbangkan untuk ditindaklanjuti untuk dibawa ke persidangan Pleno ataukah sebaliknya, itu nanti tergantung akan keputusan Rapat Permusyawaratan Hakim yang waktunya akan ditentukan kemudian nanti. Paham, ya, Pak?” kata Suhartoyo.
Seperti diketahui, Pemohon adalah Demmy Pattikawa sebagai pihak yang diberhentikan oleh PT. Pertamina (Persero) pada 1983. Namun Pemohon menganggap Surat Keputusan Pimpinan Unit PT. Pertamina (Persero) Cirebon No. kpts-042/D3000/83-B1 mengenai PHK Pemohon, tidak dibubuhi tanda tangan pegawai yang berwenang dan tanpa alasan yang jelas.
Pemohon sudah menempuh langkah penyelesaian secara kekeluargaan dengan mengirimkan surat kepada PT Pertamina, namun tidak pernah mendapatkan jawaban yang layak. Saat ini Pemohon ingin memperjuangkan haknya dengan melakukan gugatan PTUN karena pada saat itu PT. Pertamina (Persero) yang dahulu bernama PT. Permina merupakan perusahaan pemerintah. Permasalahan pemutusan hubungan kerja tersebut menurut Pemohon juga termasuk dalam sengketa kepegawaian.
Saat peristiwa PHK tersebut terjadi, Pemohon tidak dapat memperjuangkan haknya karena pada masa itu hak asasi manusia kurang diperhatikan. Menurutnya, tidak ada rakyat biasa yang leluasa bisa dan berani melawan keputusan dari PT. Pertamina (Persero) yang dimiliki sepenuhnya oleh Pemerintah, sehingga Pemohon beranggapan hal ini bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.
Namun saat ini, keinginan Pemohon tersebut terhalang dengan adanya ketentuan Pasal 55 UU PTUN. Pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya pasal dimaksud, karena pengaturan tentang tenggang waktu pengajuan gugatan Tata Usaha Negara (TUN) telah menghalangi upaya Pemohon untuk dapat memperjuangkan haknya. Pasal 55 UU No. 5/1986 menyebutkan, “Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.” (Nano Tresna Arfana)