Jakarta - Beberapa pihak seperti kehabisan akal menghadapi fenomena calon tunggal di beberapa daerah dalam prosesi pilkada serentak Desember nanti, termasuk Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ekspresi 'habis akal' tersebut terlihat dari tawaran jalan keluar (way out) yang justru tidak menyelesaikan masalah atau justru mengundang intervensi pihak lain. Tidak seperti slogan yang dikenal publik "menyelesaikan masalah tanpa masalah".
KPU, misalnya, mengambil jalan keluar untuk menunda pelaksanaan pilkada di daerah bercalon tunggal tersebut pada pilkada serentak berikutnya, yaitu Februari 2017. Alasan KPU, pilkada harus diikuti setidaknya dua pasangan calon. Kalau hanya satu pasangan calon, alias calon tunggal, bukan pilkada namanya. Dalam perspektif KPU, hal tersebut akan melanggar undang-undang.
KPU lupa, menggeser jadwal pelaksanaan pilkada dari seharusnya 2015 menjadi 2017 juga melanggar undang-undang. Sebab, undang-undang telah menentukan jadwal pelaksanaan pilkada yang didasarkan pada berakhirnya masa jabatan masing-masing kepala daerah. UU Nomor 8 Tahun 2015 menentukan pelaksanaan pilkada serentak itu menjadi Desember 2015, Februari 2017, Juni 2018, 2020, 2022, 2023, hingga pelaksanaan pilkada serentak nasional pada tahun 2027.
Khusus kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2015 hingga Juni 2016, pilkada dilaksanakan pada Desember 2015. Di daerah-daerah yang kini bercokol calon tunggal, bila patuh pada undang-undang, mau tidak mau pilkada harus dilaksanakan pada Desember 2015. Bila tidak, jelas terjadi pelanggaran pasal dalam UU Nomor 8 Tahun 2015.
KPU jelas maju kena mundur kena. Mengikuti pasal-pasal yang mengatur pelaksanaan pilkada, mereka akan dihadang dengan ketentuan yang mengharuskan bahwa pilkada sekurang-kurangnya diikuti dua pasangan calon. Namun, bila mengabaikan jadwal-jadwal yang telah ditetapkan undang-undang, jelas pula hal tersebut merupakan pelanggaran undang-undang. Jadi, maju kena mundur kena.
Perppu Bukan Solusi
Posisi dilematis tersebut coba dijawab oleh beberapa pihak dengan mewacanakan penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Ah, lagi-lagi perppu yang menjadi jalan keluar sebagaimana banyak soal di negeri ini.
Apakah absah mengeluarkan perppu? Dari sisi praktis sah-sah saja bila Presiden Jokowi mengeluarkan perppu, untuk segala hal, untuk segala urusan. Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri telah 'mempermudah' jalan bagi seorang Presiden untuk mengeluarkan perppu dengan menyatakan hal tersebut sebagaii 'hak subyektif' Presiden. Penilaian situasi apakah suatu keadaan genting atau tidak sehingga perppu memiliki legitimasi diserahkan pada seorang Presiden.
Hak subyektif Presiden itu akan dibatasi oleh persetujuan DPR. DPR yang akan menentukan apakah perppu itu akan menjadi undang-undang. Kalaupun menjadi undang-undang, tidak tertutup kemungkinan perppu itu diuji ke MK. Perppu tentang MK yang menjadi UU Nomor 4 Tahun 2014 setelah disetujui DPR nyatanya dibatalkan juga oleh MK. Bahkan, masih dalam baju perppu pun, MK telah menyatakan diri berwenang untuk mengujinya.
Jadi soal perppu tersebut bukan masalah bisa atau tidak, tetapi apakah Presiden Jokowi mau atau tidak. Saya sendiri sejak awal berpendapat perppu sebaiknya tidak dikeluarkan dalam situasi yang sebenarnya normal. Beban legislasi dalam kondisi yang normal harusnya diserahkan kepada DPR. DPR harus mampu mengadakan perubahan suatu undang-undang bila memang undang-undang itu tidak mengatur hal penting seperti masalah calon tunggal.
DPR periode 2014-2019 telah membuktikan mampu mengadakan perubahan di jalur cepat. Pertama, ketika mengadakan perubahan terhadap beberapa pasal dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Kedua, ketika mengadakan perubahan terbatas pula terhadap UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Dalam kasus perubahan UU Nomor 1 Tahun 2015 DPR bahkan sudah membentuk panitia kerja perubahan sebelum undang-undang tersebut diundangkan. Belum lagi diundangkan, undang-undang tersebut sudah menghadapi bedah perubahan.
Kalau mau dan berdisiplin, DPR bisa mengubah undang-undang secara cepat. Memang, banyak pihak tidak setuju bila UU Nomor 1 Tahun 2015 diubah lagi. Alasannya, takut perubahan itu menjadi liar ke sana kemari yang justru akan mengganggu tahapan pilkada serentak. Boleh-boleh saja kekhawatiran itu disuarakan, tetapi yang jelas kita tidak boleh membatasi wewenang legislasi DPR. Yang bisa membatasi wewenang tersebut hanyalah Presiden. sebab, undang-undang memang dibentuk atas persetujuan bersama DPR dan Presiden. Bila salah satu pihak tidak setuju, undang-undang atau perubahan undang-undang tidak bisa dijalankan.
Kewenangan Diskretif
Soalnya lagi, bagaimana bila DPR pun merasa tidak mampu memberii kepastian akan calon tunggal tersebut dalam bentuk perubahan UU Nomor 1 Tahun 2015?
Di sinilah saya melihat berbagai pihak seperti kehabisan akal untuk mencari jalan keluar sehingga jalan keluar yang ada malah tidak menyelesaikan masalah. Bila DPR tidak mau mengubah undang-undang, saya berpendapat KPU dapat menggunakan kewenangan diskretif mereka sebagai organ konstitusional yang diberi kewenangan untuk melaksanakan pemilu (termasuk pilkada). Saya berpendapat KPU bisa mengatur soal calon tunggal ini dalam peraturan KPU untuk mengatasi stagnasi akibat undang-undang yang mengatur tidak lengkap atau bahkan tidak ada (say nothing).
Dalam konteks ini KPU dapat berpegang pada UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang salah satunya mengatur tentang diskresi. Undang-undang itu menyatakan bahwa diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasii pemerintahan.
Soal calon tunggal adalah perkara yang tidak diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 2015 yang telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2015. Gara-gara tidak diatur, proses pilkada di daerah yang bercalon tunggal menjadi stagnan, no way out. Kalaupun ada jalan keluar, jalan tersebut tidak menyelesaikan masalah. Dalam konteks seperti ini, saya berpendapat sangat benar dan absah bila KPU mengambil alih persoalan ini sebagai institusi yang diberi kewenangan untuk menyelenggarakan pilkada. Jangan menyerahkannya kepada pemerintah.
KPU sering lupa bahwa dalam konteks pelaksanaan pilkada tidak ada yang lebih berhak ketimbang mereka. DPR dan pemerintah boleh menyarankan, tetapi keputusan tetap berada di tangan KPU. Sudah tentu dalam mengambil keputusan KPU tidak boleh sewenang-wenang, harus tetap berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada.
Ketika undang-undang yang ada tidak jelas atau tidak mengatur, pada titik inilah KPU dapat menggunakan kewenangan diskresional mereka untuk mengatur soal calon tunggal. Dalam konteks ini, saya lebih sepakat bila KPU mengatur untuk tetap melaksanakan pilkada dengan calon tunggal itu pada Desember 2015. Pemungutan suara tetap harus dilakukan walaupun dengan calon tunggal. Kalau pemungutan suara tidak dilaksanakan akan melanggar UUD 1945 karena gubernur, bupati, dan walikota harus dipilih secara demokratis.
Saya sepenuhnya setuju dengan usul menghadapkan calon tunggal tersebut dengan kotak kosong sebagaimana sering dipraktikkan dalam pemilihan kepala desa. Hanya, yang perlu dipahami, dan saya melihat ada pakar yang salah memahami, kotak kosong tersebut bukan kandidat atau subyek hukum. Calonnya tetap satu, tetapi suara rakyat diminta apakah ingin dipimpin oleh calon tunggal itu atau tidak. Kotak kosong itu hanya tempat menyatakan "tidak", sedangkan kotak kandidat adalah tempat untuk menyatakan "ya". Bisa dikatakan semacam referendum.
Saya termasuk heran ketika KPU tidak mengambil jalan ini ketika membuat peraturan KPU tentang calon tunggal. KPU malah mengambil sikap untuk mengundurkan pelaksanaan pilkada di daerah bercalon tunggal tersebut pada jadwal pilkada serentak berikutnya, yaitu Februari 2017. Lagi-lagi KPU lupa bahwa kebijakan mengundurkan jadwal itu juga diskresi, tetapi diskresi yang tidak menyelesaikan masalah.
Sebagai penutup, saya ingin mengatakan, yang paling ideal adalah mengubah UU Nomor 1 Tahun 2015. Bila hal tersebut tidak bisa dilakukan, bukan perppu yang menjadi jawaban – karena kita tidak bisa menyelesaikan persoalan bangsa ini dengan mengumbar perppu dalam kondisi yang sebenarnya ada jalan keluar lain. KPU cukup mengeluarkan peraturan KPU yang mengatur calon tunggal berdasarkan kewenangan diskresio mereka.
Kalaupun kewenangan diskresi tersebut hendak diuji apakah absah atau tidak, masih ada Mahkamah Agung (MA) yang berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Sesungguhnya aturan apa pun yang dikeluarkan tetap dapat diuji baik oleh MK (untuk undang-undang dan perppu) maupun oleh MA (untuk peraturan di bawah undang-undang). Calon tunggal yes, perppu no!
*) Refly Harun adalah pengajar dan praktisi hukum tata negara, mengajar di Program Pascasarjana UGM
(nwk/nwk)
Sumber: http://news.detik.com/kolom/2987510/calon-tunggal-yes-perppu-no