Jakarta - Pemerintah menyatakankan bahwa permohonan atas ketentuan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM), khususnya pasal 20 ayat (3) dan penjelasannya, adalah kurang tepat dan tidak penuhi kualifikasi.
"Pemerintah berpendapat bahwa pemohon tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum, sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 51 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi," ujar Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM Wicipto Setiadi di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Kamis (6/8).
Wicipto memberikan keterangan sebagai perwakilan Pemerintah dalam sidang lanjutan perkara terkait permohonan pengujian UU Pengadilan HAM di Gedung Mahkamah Konstitusi.
Dalam uraiannya, Wicipto menyebutkan bahwa Pemerintah menilai permasalahan yang dialami pemohon tidak tepat diajukan sebagai permohonan pengujian UU, karena permohonan tersebut merupakan pengaduan konstitusional (constitutional complaint) dan bukan pengujiaan undang-undang (judicial review).
Kemudian Wicipto melanjutkan bahwa pengadilan HAM ad hoc dibentuk atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan Presiden dan berada di lingkungan pengadilan umum, untuk menyelesaikan perkara HAM yang berat.
"Oleh sebab itu memerlukan langkah penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan yang bersifat khusus dengan cara membentuk Komnas HAM sebagai badan penyelidik khusus," kata Wicipto.
Hasil penyelidikan berupa bukti-bukti permulaan yang cukup kemudian disampaikan kepada Kejaksaan Agung selaku penyidik paling lambat tujuh hari kerja."Bila Kejaksaan Agung berpendapat hasil penyelidikan masih kurang lengkap, maka Kejaksaan Agung segera mengembalikan berkas penyelidikan kepada Komnas HAM," ujar Wicipto.
Berkas itu disertai petunjuk untuk dapat dilengkapi dalam kurun waktu 30 hari sejak tanggal dikembalikannya berkas tersebut.
Melalui Wicipto kemudian Pemerintah berpendapat bahwa ketentuan Pasal 20 ayat (3) UU Pengadilan HAM dan penjelasannya memberikan kepastian hukum bagi korban dan keluarga untuk mendapatkan kepastian dalam menemukan pelaku pelanggar HAM yang berat.
Sebelumnya, keluarga korban tragedi Mei 1998 mengajukan permohonan atas uji mater Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM) di Mahkamah Konstitusi.
Permohonan atas uji materi tersebut diajukan oleh Payan Siahaan, orang tua Ucok Munandar Siahaan yang dihilangkan secara paksa pada kurun waktu 1997 hingga 1998, dan Yati Uryati, Ibu dari Eten Karyana, korban dalam tragedi Mei 1998.
Pada sidang pendahuluan, para pemohon menjelaskan bahwa Meskipun segala berkas penyelidikan oleh Komnas HAM telah disampaikan kepada Kejaksaan Agung selaku penyidik, Pemohon menyampaikan bahwa perkara tersebut tidak ditindaklanjuti oleh pihak Kejaksaan Agung.
Kasus ini kemudian dianggap telah ditelantarkan, sehingga para pemohon merasa hak konstitusional mereka telah dirugikan dan dilanggar, khususnya terkait dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) serta Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tentang kepastian hukum untuk setiap Warga Negara Indonesia.
Sumber: