Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) dengan agenda pemeriksaan pendahuluan pada Kamis (6/8) siang, di Ruang Sidang Pleno MK. Para Pemohon dalam perkara yang terdafatar dengan nomor 87/PUU-XIII/2015 ini yaitu Bupati Kabupaten Kutai Barat Ismail Thomas, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kutai Barat FX. Yapan dan Ketua Presidium Dewan Adat Kabupaten Kutai Barat Yustinus Dullah.
Diwakili kuasa hukumnya Jannes Halomoan Silitonga, para Pemohon menyatakan Kabupaten Kutai Barat mengalami masalah ketenagalistrikan, yaitu pemadaman listrik, tidak stabilnya listrik, sulitnya mendapat sambungan listrik dan mahalnya biaya penyambungan listrik. Bahkan, hingga kini di Kabupaten Kutai Barat hanya 30% masyarakat yang mendapat pelayanan listrik. Hal ini diakibatkan kurangnya pasokan listrik di Kabupaten Kutai Barat.
Terhadap permasalahan tersebut, Pemerintah Kabupaten Kutai Barat bermaksud membangun pembangkit tenaga listrik dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam yang ada. Namun, hal ini terkendala dengan adanya ketentuan yang terdapat dalam Lampiran CC angka 5, Sub Urusan Ketenagalistrikan dari UU Pemda, yang hanya mengatur kewenangan ‘pemerintah pusat’ dan ‘pemerintah daerah provinsi’ dalam masalah ketenagalistrikan.
Ketentuan yang terdapat dalam Lampiran CC angka 5 Sub Urusan Ketenagalistrikan UU Pemda tersebut kemudian dianggap telah merugikan para Pemohon, karena menghapuskan kewenangan ‘pemerintah daerah kabupaten/kota’ dalam hal ketenagalistrikan. Padahal menurut Pemohon, Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan memberikan kewenangan kepada kabupaten/kota untuk mengatur mengenai ketenagalistrikan.
Berdasarkan argumentasi itu, para Pemohon kemudian meminta kepada Majelis Hakim agar Lampiran CC angka 5 Sub Urusan Ketenagalistrikan dari UU Pemda bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Menanggapi permohonan, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna sebagai Ketua Panel Hakim menyarankan agar para Pemohon lebih memperjelas kedudukan hukumnya. Menurut Palguna, anggapan Pemohon yang mengkualifikasi kedudukan hukumnya sebagai lembaga negara (bagi Bupati dan Ketua DPRD) perlu mendapat uraian lebih lanjut lagi.
“Pemohon 1 dan Pemohon 2 mendalilkan diri sebagai lembaga negara. Nah, itu harus ada penjelasannya mengapa Anda menyebut lembaga negara, karena ini masih ada beberapa silang pendapat di kalangan para ahli. Anda menggunakan alasan apa, sehingga Anda menyebut sebagai lembaga negara. Pemahaman orang selama ini misalnya tentang lembaga negara itu adalah presiden, DPR, DPD, MPR, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, begitu kan. Nah, Anda mendalilkan diri sebagai lembaga negara penjelasannya bagaimana, itu harus ada dulu,” jelas Palguna.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Manahan MP. Sitompul menyarankan agar para Pemohon memberikan referensi terkait pengalaman daerah-daerah lain dalam mengelola ketenagalistrikan. “Mengingat nanti permohonan ini adalah menyangkut juga kepada daerah-daerah lain, sehingga putusan kalau lah dikabulkan, ini kan berlaku erga omnes. Nah, kami sarankan atau saya sarankan, perlu ada referensi dari pengalaman dari daerah-daerah lain yang mungkin bisa dikemukakan dalam permohonan ini,” tutur Manahan.
Kemudian, Hakim Konstitusi Patrialis Akbar menanyakan apakah Pemohon yang berasal dari DPRD sudah mendapatkan persetujuan untuk mengajukan pengujian undang-undang ini. “Pertanyaan saya adalah khusus untuk DPRD, apakah ada semacam satu putusan rapat Pleno DPRD untuk memberikan dukungan terhadap judicial review ini? Jangan sampai nanti ada masalah sendiri di dalam acara internal,” kata Patrialis. (Triya IR)