Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU Rusun) kembali diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kali ini, beberapa pemilik satuan rumah susun (sarusun) tercatat menjadi Pemohon dalam perkara yang tercatat dengan Nomor 85/PUU-XIII/2015 tersebut.
Dalam pokok permohonannya, para Pemohon merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya beberapa pasal dalam UU Rusun, di antaranya Pasal 1 angka 21; Pasal 59 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4); Pasal 60; Pasal 74 ayat (1) dan ayat (2); Pasal 75 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4); Pasal 76; dan Pasal 77 ayat (2).
Lebih lanjut, Muhammad Joni selaku kuasa hukum menjelaskan bahwa para Pemohon mengalami kerugian konstitusional dengan berlakunya beberapa ketentuan mengenai pembentukan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) dalam UU Rusun. Pemohon mendalilkan, kata ‘para’ dalam frasa ‘para pemilik atau penghuni sarusun’ dalam Pasal 1 angka 21 UU Rusun, tidak jelas dan menimbulkan ketidakpastian hukum, serta mengancam perlindungan harta benda dan hak milik pribadi para Pemohon yang dijamin dalam UUD 1945.
Menurut Pemohon, penggunaan kata ‘para’ dapat berarti hanya sebagian atau sebagian besar sehingga mengakibatkan tidak semua pemilik menjadi anggota PPPSRS. Hal ini merugikan pemilik karena membuka celah bagi terbentuknya PPPSRS lain, sehingga PPPSRS tidak menjadi badan hukum tunggal dalam pengelolaan rumah susun/apartemen.
”Klausula ini menurut permohonan kami adalah merugikan kepentingan konsumen karena tidak menjamin seluruh pemilik atau penghuni Sarusun menjadi anggota P3SRS karena memungkinkan adanya memberless atau adanya kekosongan atau tidak menjadi anggota daripada P3SRS. Itu yang mengakibatkan tidak terlindunginya pemilik atau penghuni rumah susun yang tidak menjadi anggota,” tuturnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Aswanto, pada Rabu (5/8), di Ruang Sidang Pleno MK.
Kemudian, lanjut Joni, ada perbedaan dan ketidakkonsistenan norma hukum pada Pasal 59 ayat (1) dikaitkan dengan Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU Rusun yang menentukan ‘masa transisi’ adalah masa ketika sarusun belum seluruhnya terjual. Ketentuan yang tidak konsisten itu merugikan para Pemohon dan bertentangan dengan Pasal 59 ayat (2) UU Rusun yang menentukan bahwa masa transisi ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak penyerahan pertama kali. Frasa ‘paling lama 1 (satu) tahun’ menafikan tanggung jawab produk pelaku pembangunan, sehingga ketentuan Pasal 59 ayat (2) UU Rusun sepanjang frasa ‘paling lambat 1 (satu) tahun’ adalah ketentuan yang tidak adil dan menjustifikasi lepasnya tanggung jawab pelaku pembangunan atas produknya.
“Frasa ‘paling lama 1 (satu) tahun’ tidak logis dan tidak faktual dengan keadaan yang nyata karena tidak ada kepastian dalam masa 1 (satu) tahun sejak penyerahan fisik pertama kali seluruh unit sarusun sudah habis terjual habis dan telah dihuni oleh pemilik atau penghuni untuk membentuk PPPSRS,” jelasnya.
Untuk itulah, dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar keseluruhan pasal yang diujikan tersebut berlaku secara konstitusional bersyarat. Misalnya saja petitum permohonan pertama Pemohon yang meminta ketentuan Pasal 1 angka 21 UU Rusun adalah bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai sebagai ‘seluruh pemilik atau penghuni yang mendapat kuasa dari pemilik sarusun’.
Saran Perbaikan
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim yang juga dihadiri oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar memberikan saran perbaikan. Wahiduddin menitikberatkan agar para Pemohon mempertajam kedudukan hukumnya (legal standing). Majelis Hakim kemudian meminta klarifikasi kedudukan hukum beberapa Pemohon. “Agar kedudukan pemohon dalam persidangan tidak menimbulkan kerancuan untuk bertindak sebagai Prinsipal atau Kuasa Prinsipal. Sehingga dapat berakibat pada tidak dapat terpenuhinya persyaratan standing sebagai Pemohon kiranya kedudukan Pemohon diperjelas dalam permohonan dan perbaikan,” terang Wahiduddin.
Pemohon diberikan waktu 14 hari kerja untuk memperbaiki permohonan. Sidang berikutnya akan digelar dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan. (Lulu Anjarsari)