Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana uji materiil Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) pada Selasa (4/8), di Ruang Sidang MK, Jakarta. Pengujian UU tersebut dimohonkan oleh dua orang advokat yang berada di bawah naungan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Muhammad Sholeh dan Ruli Nugroho.
Para Pemohon merasa dirugikan oleh ketentuan Pasal 3 ayat (1) huruf d UU Advokat yang berbunyi “Untuk dapat diangkat menjadi advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: (d) berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun.”
Menurut Para Pemohon, ketentuan tersebut hanya mengatur syarat minimal usia calon advokat tanpa menyebut usia maksimal. Tidak adanya batas usia maksimal membuat para pensiunan polisi, pensiunan jaksa, dan pensiunan hakim bisa menjadi advokat. Padahal, Pemohon menilai para pensiunan tersebut berpotensi masih memiliki konflik kepentingan dengan jajarannya dan membuatnya tidak independen.
“Ketika mereka menjadi advokat, mau tidak mau hubungan yang lama itu akan menjadikan posisi advokat tidak independen lagi. Berbeda dengan kita yang sejak awal menjadi advokat dari bawah, tentu akan mengedepankan profesionalitas,” papar Sholeh dalam sidang perkara nomor 84/PUU-XIII/2015.
Pemohon memaparkan, dalam Pasal 5 UU Advokat disebutkan status advokat adalah penegak hukum. Dengan kata lain, antara polisi, jaksa, hakim, dan advokat levelnya sama. Ketika polisi, jaksa, dan hakim sudah pensiun kemudian menjadi advokat, Pemohon menilai posisinya akan menjadi tidak seimbang.
“Dalam UU Advokat, calon advokat diwajibkan magang. Kalaupun mereka magang, tetapi secara tidak langsung mereka praktiknya sudah puluhan tahun. Posisi itulah yang menurut kami tidak seimbang sehingga idealnya harus ada batasan maksimal usia advokat yang diatur di dalam undang-undang,” jelas Sholeh.
Dengan kata lain, terjadi diskriminasi advokat muda yang posisinya itu tidak sama dengan para pensiunan jenderal polisi, hakim, dan jaksa. Pemohon berpendapat, para pensiunan polisi, jaksa, maupun hakim dapat mendarmabaktikan dirinya di dunia hukum dengan menjadi dosen atau menyumbangkan tulisan-tulisan dan mengadakan seminar hukum.
Selain itu, Pemohon ingin menghindari stigma profesi advokat yang menjadi keranjang sampah bagi para pensiunan penegak hukum. Orang-orang yang berstatus pensiunan, dinilai Pemohon berarti sudah dianggap tidak cakap oleh lembaganya. “Nah, kalau di lembaga sudah dianggap cakap, tiba-tiba kenapa masuk menjadi advokat? Kesan yang muncul adalah dunia advokat itu keranjang sampah,” imbuhnya.
Oleh karena itu, menurut Pemohon Pasal 3 ayat (1) huruf d UU Advokat bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 sepanjang tidak ada batas usia maksimum untuk menjadi advokat.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan Pemohon, Majelis Hakim yang diketuai Hakim Konstitusi Aswanto didampingi Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati dan Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul meminta Pemohon mempertajam petitumnya. “Anda mengatakan hakim itu ada batas usia pensiun. Kalau Anda ingin sama, perlu enggak ada batas pensiun advokat? Kalau Anda mengatakan, 25 tahun sampai 45 tahun sebagai calon advokat misalnya, tapi ada orang yang tidak pernah jadi polisi, hakim, atau jaksa, tapi dia baru lulus usia 50 tahun, boleh atau enggak?” ujar Hakim Konstitusi Maria.
Sementara Hakim Konstitusi Manahan mempertanyakan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon. Apabila Pasal 3 ayat (1) huruf d UU Advokat tidak diubah, apakah akan merugikan Pemohon yang sudah menjadi advokat. “Nah, kalau kepada Saudara sekarang ini tidak ada lagi kerugiannya, ini juga harus dipikirkan,” imbuhnya. (Lulu Hanifah)