Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan permohonan 22 orang anggota komisioner Komisi Informasi Pusat dan Komisi Informasi Provinsi ditolak dan tidak dapat diterima. Mahkamah menyimpulkan dalil para Pemohon yang menuntut kemandirian kelembagaan Komisi Informasi dalam memilih anggotanya merupakan dalil yang tidak beralasan menurut hukum sehingga pantas untuk dinyatakan ditolak oleh Mahkamah. Permohonan sebagian Pemohon juga dinyatakan tidak dapat diterima karena sebagian Pemohon dimaksud tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan ini. Hal tersebut terungkap dalam sidang pengucapan putusan Perkara No. 116/PUU-XII/2014 yang digelar Selasa (4/8) di Ruang Sidang Pleno MK.
Menanggapi dalil para Pemohon tentang kemandirian, Mahkamah menyatakan kemandirian Komisi Informasi tidak diturunkan dari kemerdekaan kekuasaan kehakiman sebagaimana yang dimiliki oleh badan-badan peradilan khusus. Pemohon memang mencontohkan bahwa kemandirian yang seharusnya mereka miliki sama seperti kemandirian yang dimiliki Pengadilan HAM, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Niaga, Pengadilan Anak, dan lain-lain. Mahkamah menganggap analogi Pemohon tersebut tidak tepat.
Sebab, pengadilan-pengadilan khusus yang dicontohkan oleh para Pemohon tersebut dibentuk dengan undang-undang dan berada di bawah salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 27 UU Kekuasaan Kehakiman dengan landasan konstitusionalnya ditegaskan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945. Berbeda dengan kedudukan Komisi Informasi yang bila dilihat dari maksud asli pembentuk undang-undang (original intent), maupun penafsiran sejarah, Mahkamah tidak menemukan adanya maksud pembentuk undang-undang (DPR bersama Presiden) untuk menjadikan Komisi Informasi sebagai pengadilan khusus.
Dengan kata lain, Mahkamah tidak melihat Komisi Informasi adalah sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman yang memiliki kemerdekaan atau independensi sebagaimana layaknya kekuasaan kehakiman. Meski memang benar bahwa Komisi Informasi memiliki independensi, namun independensi yang dimaksud bukan sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman.
Meski Pemohon mendalilkan bahwa salah satu fungsi Komisi Informasi yakni untuk menyelesaikan sengketa publik melalui mediasi dan/atau ajudikasi nonlitigasi, namun secara teleologis maupun sosiologis, Mahkamah tidak menemukan penafsiran bahwa kemerdekaan yang dimiliki Pemohon sama dengan kemerdekaan yang dimiliki kekuasaan kehakiman.
Kemandirian
Selain pengertian kata “kemerdekaan”, Mahkamah juga mempertimbangkan pengertian kata “mandiri” atau “kemandirian” yang juga didalilkan oleh Pemohon. Pertimbangan Mahkamah didasarkan dalil Pemohon yang menyatakan bahwa keterlibatan atau adanya unsur Pemerintah (baik di tingkat Pusat maupun Daerah) dan/atau keterlibatan Dewan Perwakilan Rakyat (baik di tingkat Pusat maupun Daerah) dalam keanggotaan, proses rekrutmen, kesekretariatan, dan pertanggungjawaban Komisi Informasi (pusat maupun daerah) menyebabkan Komisi Informasi (pusat maupun daerah) tidak mandiri.
Terkait dalil tersebut, Mahkamah menyatakan tidak terdapat alasan yang kuat untuk menerima argumentasi bahwa adanya unsur pemerintah dalam keanggotaan Komisi Informasi akan serta merta berpengaruh pada hilangnya atau terhambatnya independensi Komisi Informasi dalam menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya, termasuk dalam memutus Sengketa Informasi Publik. Sebab, UU KIP sendiri tidak menentukan bahwa yang dimaksud dengan unsur pemerintah itu dengan sendirinya berasal dari aparat atau pegawai pemerintah. Selain itu, semua calon anggota Komisi Informasi, termasuk dari unsur pemerintah, harus memenuhi persyaratan yang sama dengan calon yang berasal dari unsur masyarakat, termasuk keharusan untuk direkrut secara terbuka, jujur, dan objektif dengan diumumkan kepada masyarakat.
Oleh karena itulah, Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. “Konklusi. Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan, Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo. Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, Pemohon V, Pemohon VI, Pemohon VIII, Pemohon IX, Pemohon XIV, dan Pemohon XX memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo. Pemohon IV, Pemohon VII, Pemohon X, Pemohon XI, Pemohon XII, Pemohon XIII, Pemohon XV, Pemohon XVI, Pemohon XVII, Pemohon XVIII, Pemohon XIX, Pemohon XXI, Pemohon XXII dan Pemohon XXIII tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo. Pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum,” tegas Ketua MK, Arief Hidayat yang memimpin langsung sidang pengucapan putusan ini dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya.
Arief pun mengucapkan amar putusan Mahkamah yang pada pokoknya menyatakan tidak dapat menerima permohonan yang diajukan sebagian Pemohon kerena tidak memiliki kedudukan hukum dan menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya. (Yusti Nurul Agustin)