Pemerintah diwakili Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Wicipto Setiadi menegaskan, ketentuan Pasal 7 huruf o Undang-Undang Pilkada yang melarang mantan kepala daerah untuk maju menjadi wakil kepala daerah, dibentuk dalam rangka memperbaiki penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal tersebut dikatakan Wicipto saat menyampaikan keterangan Pemerintah dalam sidang uji materiil Pasal 7 huruf g dan huruf o Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).
Menurut Pemerintah, apabila tidak ada pembatasan terhadap mantan kepala daerah yang hendak mencalonkan diri sebagai wakil kepala daerah, pasangan kepala daerah-wakil kepala daerah yang saling bergantian mempunyai empat kesempatan untuk menduduki jabatan pimpinan daerah. Keadaan tersebut dinilai Pemerintah akan menimbulkan dampak yang tidak baik dalam iklim pemerintahan daerah. Dari aspek etika moral kemasyarakatan, lanjut Wicipto, kebijakan pembatasan tersebut dimaksudkan untuk menjaga kredibilitas dan wibawa kepala daerah di mata masyarakat.
“Apabila mantan kepala daerah mencalonkan diri sebagai wakil kepala daerah, maka akan terkesan penurunan derajat demi untuk mengejar kekuasaan semata,” ujar Wicipto dalam sidang lanjutan perkara nomor 80/PUU-XIII/2015 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Selasa (4/8).
Pemerintah menegaskan tidak sependapat dengan dalil dan anggapan Pemohon yang menyatakan ketentuan Pasal 7 huruf o UU Pilkada telah memberikan perlakuan yang tidak sama di hadapan hukum terhadap Pemohon. Menurut Pemerintah, hak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan hukum yang sama di hadapan hukum, tidaklah secara langsung berhubungan dengan kesempatan untuk menduduki jabatan publik atau hak untuk turut serta dalam pemerintahan.
“Hak tersebut lebih pada konteks penerapan prinsip due process of law dalam negara hukum yang demokratis,” imbuhnya.
Dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat, Pemerintah juga menyatakan pandangannya terhadap pasal 7 huruf g tentang narapidana yang tidak dapat mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Ketentuan tersebut, ujar Pemerintah, diatur dalam beberapa undang-undang, antara lain Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang BPK, Undnag-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, dan Undang-Undang No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Ketentuan tersebut disusun semata-mata untuk mewujudkan pemilihan kepala daerah yang dapat menjaring pemimpin atau pemangku jabatan publik yang baik, memiliki integritas dan kapabilitas moral yang memadai, dan mendapatkan kepercayaan dari masyarakat atau dengan perkataan lain jabatan publik adalah jabatan kepercayaan. “Hal tersebut merupakan kebutuhan dan persyaratan standar bagi seseorang yang ingin mencalonkan diri sebagai pemangku jabatan publik, sehingga diharapkan diperoleh pejabat publik yang benar-benar bersih, berwibawa, jujur, dan memiliki integritas moral yang baik dan terjaga,” jelasnya.
Sebelumnya, dua orang mantan kepala daerah yang juga mantan terpidana kasus korupsi, Ismeth Abdullah dan I Gede Winasa mengajukan uji materi Pasal 7 huruf g dan Pasal 7 huruf o UU Pilkada. Ismeth merupakan mantan Gubernur Kepulauan Riau periode 2005-2010 yang divonis dua tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dalam kasus proyek pengadaan mobil pemadam kebakaran. Sedangkan I Gede Winasa adalah mantan Bupati Jembrana, Bali yang dijatuhi hukuman penjara dua tahun enam bulan oleh Mahkamah Agung di tingkat kasasi. I Gede Winasa terbukti melakukan korupsi proyek pengadaan pembangunan pabrik kompos berikut mesinnya selama menjabat sebagai bupati.
Adapun Pasal 7 huruf g dan huruf o UU Pilkada menyatakan:
Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
...
(g) tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
...
(o) belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Bupati, dan Walikota untuk Calon Wakil Gubernur, Calon Wakil Bupati, dan Calon Wakil Walikota.
Pemohon menilai, adanya pembatasan dalam ketentuan tersebut merupakan suatu bentuk diskriminasi. “Selain dinyatakan secara tegas dalam UUD 1945, perlindungan terhadap hak politik warga negara juga diatur dalam UU Hak Asasi Manusia dan berbagai Kovenan Internasional,” ujarnya.
Selain itu, Pemohon berpendapat ketentuan Pasal 7 huruf o memiliki ketidakjelasan tafsir. “Menurut Pemohon, norma pasal ini tidak jelas karena dalam hal jabatan apa yang dimaksud batasannya? Apakah belum pernah menjabat sebagai gubernur, bupati, wakil gubernur, wakil bupati, walikota, atau wakil walikota?” tuturnya. (Lulu Hanifah)