Independensi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidaklah bersifat mutlak dan tidak terbatas, akan tetapi dibatasi oleh hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang, seperti halnya independensi bank sentral. Untuk itu, frasa “dan bebas dari campur tangan pihak lain” yang mengikuti kata “independen” dalam Pasal 1 Angka 1 UU OJK tidak diperlukan lagi. Demikian putusan MK dengan Nomor 25/PUU-XII/2014 yang dibacakan oleh Ketua MK Arief Hidayat, dengan didampingi oleh delapan Hakim Konstitusi lainnya pada Selasa (4/8), di Ruang Sidang Pleno MK.
“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Frasa ‘dan bebas dari campur tangan pihak lain’ yang mengikuti kata ‘independen’ dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” ujarnya membacakan permohonan yang diajukan oleh Tim Pembela Kedaulatan Ekonomi Bangsa tersebut.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman, Mahkamah menilai pembatasan terhadap independesi OJK juga dapat dilihat dari adanya kewajiban OJK menyusun laporan kegiatan secara berkala dan melaporkannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kemudian beberapa laporan keuangan OJK diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Kantor Akuntan Publik yang ditunjuk oleh BPK, serta adanya anggota Dewan Audit dan Komite Etik yang juga berasal dari eksternal OJK. Dengan demikian, lanjut Anwar, pemaknaan “independen” bagi OJK sudah secara jelas dan tegas dinyatakan dalam UU OJK sehingga menurut Mahkamah, frasa “dan bebas dari campur tangan pihak lain” yang mengikuti kata “independen” dalam Pasal 1 angka 1 UU OJK tidak diperlukan lagi karena maknanya sudah tercakup dalam kata “independen”.
“Independensi OJK tidaklah bersifat mutlak dan tidak terbatas, akan tetapi dibatasi oleh hal-hal yang secara tegas diatur dalam UU OJK itu sendiri,” jelasnya.
Anggaran OJK
Dalam permohonannya, Pemohon menyebut anggaran OJK yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, karena OJK bukan merupakan lembaga negara. Terhadap dalil tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa meskipun OJK disebut dengan kata “lembaga” saja tanpa disertai kata “negara”, hal itu bukan berarti kedudukan OJK merupakan lembaga yang ilegal, sehingga OJK tetap dapat melakukan fungsi, tugas, dan wewenang berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 9 UU OJK.
Dengan demikian, karena OJK merupakan lembaga yang melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang yang diperintahkan undang-undang, maka sudah sewajarnya pembiayaan OJK bersumber dari APBN. Anggaran tersebut digunakan untuk mendanai seluruh kegiatan operasional, karena sumber pendanaan dari APBN diperlukan untuk memenuhi kebutuhan OJK pada saat pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di industri jasa keuangan belum dapat mendanai seluruh kegiatan operasional secara mandiri. Untuk itu, pendanaan OJK yang bersumber dari APBN adalah bersifat sementara sampai OJK dapat mendanai seluruh kegiatan operasionalnya secara mandiri. Adapun mengenai penetapan besaran pungutan tersebut, dilakukan dengan tetap memperhatikan kemampuan pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan serta kebutuhan pendanaan OJK, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
“Dengan demikian, menurut Mahkamah, harus ada batasan waktu yang jelas sejauh mana OJK dapat menggunakan APBN sebagai sumber kegiatan operasional. Demi kemanfaatan dan kepastian penggunaan APBN, pendanaan OJK yang bersumber dari APBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) UU OJK diterapkan hingga OJK dapat mendanai seluruh kegiatan operasionalnya secara mandiri, dan hal tersebut menjadi kewenangan pembentuk undang-undang untuk menilainya,” terang Hakim Konstitusi Patrialis Akbar.
Pungutan OJK Konstitusional
Mahkamah juga memberikan pendapatnya terhadap keberatan para Pemohon mengenai pungutan yang diambil OJK dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Mahkamah berpendapat, meski pungutan yang dilakukan oleh OJK tidak diatur dengan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 23A UUD 1945 namun hal itu tidaklah serta merta berarti bertentangan dengan UUD 1945.
Hal ini karena dalam kenyatannya, tidak ada undang-undang yang secara khusus mengatur pungutan lain yang bersifat memaksa. Sehingga jika pungutan yang diperuntukkan untuk negara dinyatakan inkonstitusional, maka akan banyak pungutan lain yang juga bertentangan dengan UUD 1945. Misalnya, biaya atau iuran yang digunakan untuk kebutuhan pelaksanaan fungsi Bursa Efek sebagaimana ditentukan dalam UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan iuran bagi pemegang izin usaha pemanfaatan hutan sebagaimana ditentukan dalam UU Nomor. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Adapun mengenai anggapan terjadinya penyalahgunaan dan masalah pertanggungjawaban pungutan, termasuk dalam hal terdapat kelebihan hasil pungutan, menurut Mahkamah Pasal 38 UU OJK telah mengantisipasi kedua hal tersebut. Pungutan sebagai bagian dari laporan keuangan OJK harus diaudit oleh BPK dan/atau Kantor Akuntan Publik yang ditunjuk oleh BPK. Selain itu, seluruh kegiatan OJK juga dilaporkan kepada DPR dan laporan kegiatan tahunan disampaikan pula kepada Presiden.
“Dengan adanya ketentuan mengenai pelaporan dan akuntabilitas dalam UU OJK, menurut Mahkamah telah ada pengawasan dan pertanggungjawaban dari OJK kepada negara dan masyarakat,” tandasnya.
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 37, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU OJK. Sebagai pembayar pajak, Pemohon merasa lingkup kewenangan OJK telah melebihi kewenangan yang dimiliki oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral. Pada dasanya OJK menurut Pemohon hanya memiliki wewenang menetapkan peraturan terkait dengan tugas pengawasan lembaga keuangan bank yang berdasarkan Pasal 34 ayat 1 UU Bank Indonesia. Hal ini menyebabkan wewenang OJK dalam mengawasi lembaga keuangan non-bank dan jasa keuangan lainnya tidak sah karena pasal a quo tidak mengatur hal tersebut.
Untuk itulah, dalam tuntutan atau petitum-nya, Pemohon meminta MK menyatakan UU OJK terutama Pasal 1 angka 1, Pasal 5, dan Pasal 37 bertentangan dengan UUD 1945. Namun apabila nantinya MK tidak mengabulkan permohonan tersebut, mereka meminta frasa “tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan” dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU OJK dihapuskan. Pemohon juga mengajukan petitum provisi untuk menghentikan sementara operasional OJK sampai ada putusan pengadilan sehingga memerintahkan Bank Indonesia mengambil alih sementara. (Lulu Anjarsari)