Jakarta - Sebanyak 30 warga Surabaya, Jawa Timur, mengajukan gugatan uji materi Undang-Undang (UU) Pilkada di mana pemohon meminta Mahkamah Konstitusi (MK) segera memutuskan agar calon tunggal peserta pilkada tetap disahkan.
Pengujian pasal yang diajukan masing-masing Pasal 49 ayat (9), Pasal 50 Ayat (9), Pasal 51 Ayat (2), Pasal 52 Ayat (2), Pasal 54 Ayat (4) dan Pasal 54 Ayat (6) Undang-Undang No. 8 tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang terhadap pasal 28 D Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
Pengajuan uji materi UU Pilkada diwakili lima kuasa hukum atau advokat yaitu Imam Syafi'i, Muhammad Sholeh, I Wayan Dendra, Syamsul Arifin serta Agus Setia Wahyudi, Selasa (4/8) di Kantor MK, Jalan Medan Merdeka, Jakarta Pusat.
Perwakilan kuasa hukum warga, Muhammad Sholeh, menjelaskan, alasan yang menjadi dasar pertimbangan diajukannya permohonan yakni terkait kewenangan MK.
Dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, menyatakan MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Kemudian Pasal 10 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menegaskan hal yang sama, yakni menyebutkan Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.
Antara lain menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memutus Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus Pembubaran Partai Politik dan Memutus Perselisihan tentang Hasil Pemilihan Umum.
Penegasan serupa dikemukakan oleh Undang-undang No 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman, Sementara ketentuan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan “Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi”.
"Calon tunggal (Pilkada) harus tetap bisa diproses dan disahkan. Mahkamah Konstitusi pun berwenang untuk mengadili permohonan pengujian Undang-Undang pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final," kata Muhammad Sholeh.
Dikatakan, para pemohon sebagai warga negara yang baik menginginkan pelaksanaan Pilkada serentak nasional di Surabaya berjalan sesuai jadwal yaitu tanggal 9 Desember 2015.
Namun, hingga penutupan pendaftran tanggal 28 Juli 2015 hanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang sudah mendaftarkan calon walikota dan wakil walikota yaitu Tririsma Harini dengan Whisnu Sakti Buana
"Sementara partai-partai tidak ada yang mendaftar. Dikarenakan PDIP memperoleh 15 kursi di DPRD Surabaya, sehingga mereka bisa mengusung sendiri calonnya tanpa harus koalisi dengan partai lain," ungkapnya.
Disebutkan, langkah PDIP kota Surabaya yang percaya diri mengusung calonnya tanpa berkoalisi dengan partai lain, menjadikan Partai-Partai di luar PDIP membuat koalisi Majapahit yang terdiri enam partai yaitu Gerindra, Demokrat, PKB, Golkar, PAN dan PKS.
Dijelaskan, jumlah total kursi dari enam partai tersebut adalah 29 kursi di DPRD Surabaya. tinggal Partai Hanura, PPP dan NasDem yang belum menentukan arah politiknya mau gabung ke PDIP atau ikut koalisi Majapahit.
"Padahal mereka mempunyai enam kursi di DPRD Surabaya. Andaikan Partai Hanura, PPP dan NasDem gabung ke koalisi Majapahit, tentu menjadi ancaman buat PDIP, tidak hanya soal pemilukada tapi yang lebih penting adalah progam-program pemerintah kota Surabaya bisa selalu diganjal di parlemen," ujarnya.
Sesuai agenda dari KPU kota Surabaya, jika pada masa pendaftaran tiga hari peserta yang mendaftar tidak mencapai minimal dua pasangan calon, KPU kota Surabaya akan memperpanjang pendaftaran tiga hari.
Saat ini, menurutnya, akan ada dua kemungkinan yang terjadi menjelang perpanjangan pendaftaran calon pemilukada. Pertama, koalisi partai-partai akan mengusung calon sendiri di luar calon PDIP. Kedua, sama sekali tidak mengusung calon, karena kecewa dengan PDIP yang tidak mau berkoalisi dengan partai lain.
Jika sama sekali tidak mengusung calon, maka yang terjadi pemilukada kota Surabaya hanya diikuti satu pasangan calon pemilukada. Artinya, pemilukada kota Surabaya berpotensi gagal dilaksanakan jika mengacu pada UU No. 8 tahun 2015 dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum No 12 tahun 2015.
Sebab Pasal 51 Ayat (2) dan 52 Ayat (2) UU pemilukada No 8 tahun 2015 mensyaratkan calon peserta pemilukada minimal dua pasangan calon. Meskipun dalam Pasal 50 UU No 8 tahun 2015 diberikan ruang perpanjangan waktu pendaftaran jika kurang dari dua pasangan calon.
Pertanyaannya, meski diberi perpanjangan 10 hari dan tiga hari waktu pendaftaran. Tapi jika partai-partai tidak ada yang daftar, artinya sampai kapanpun Komisi Pemilihan Umum kota Surabaya tidak bisa menetapkan minimal dua pasangan calon.
Dengan berlakunya Pasal 49 Ayat (9), Pasal 50 Ayat (9), Pasal 51 Ayat (2), Pasal 52 Ayat (2), Pasal 54 Ayat (4) dan Pasal 54 ayat (6) Undang-Undang No. 8 tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, pemilukada kota Surabaya dan daerah lain yang kebetulan petahana masih kuat berpotensi gagal menyelenggarakan pemilukada 2015 sebab KPUD rawan tersandra dengan tidak ada calon lain yang mendaftar.
Jika pasal-pasal yang digugat masih diberlakukan, dikhawatirkan tidak ada yang bisa menjamin dalam pilkada berikutnya tidak terjadi kasus yang sama. Artinya, ketika ada calon yang dianggap kuat dan tidak terkalahkan, maka pemilukada Surabaya tidak akan dapat terselenggara.
"Hal ini menunjukkan pasal-pasal yang digugat oleh para pemohon mengandung ketidakpastian hukum," kata Sholeh.
Jika Pilkada kota Surabaya harus ditunda ke pemilukada berikutnya yaitu tahun 2017, maka Surabaya wali kotanya akan dijabat oleh pejabat sementara, sementara pejabat sementara tidak bisa mengambil keputusan-keputusan strategis.
"Dengan demikian para pemohon berpendapat bahwa para pemohon memiliki kedudukan hukum sebagai pihak dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945," ucapnya.
menurutnya, UU No 8 tahun 2015 dibuat secara tergesa-gesa. Sebab, UU tersebut adalah perubahan dari UU No 1 tahun 2015 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang.
"Karena dibuat secara tergesa-dasa dalam waktu sebulan, sehingga isinya tidak seusai harapan pemilukada yang efektif dan efisien. Hal ini terbukti UU ini tidak bisa menjawab jika peserta pemilukada hanya diikuti satu pasangan calon," kata Sholeh.
Diakui, idealnya pemilukada diikuti minimal dua pasangan calon, supaya pemilih diberikan alternatif memilih calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terbaik. Tidak demokratis jika pemilukada hanya diikuti satu pasangan calon.
Tetapi, jika penyelenggara sudah memberi kesempatan yang luas kepada calon perserorangan dan calon dari partai politik, tapi tetap saja yang terdaftar dan lolos penetapan cuman satu pasangan calon, maka proses plkada yang diikuti hanya satu pasangan calon, dinilainya tetap demokratis.
Sumber: http://www.beritasatu.com/nasional/296227-permasalahan-pilkada-calon-tunggal-digugat-ke-mk.html