JAKARTA, GRESNEWS.COM – Urusan pelaksanaan pilkada serentak 9 Desember mendatang ternyata tak cuma bikin pusing Komisi Pemilihan Umum saja dengan seabrek persoalan mulai dari calon tunggal hingga ketiadaan calon yang mendaftar yang semuanya berpotensi menunda pilkada. Semua persoalan ini diduga bermuara dari ketidakbecusan partai politik yang tak berani bertarung hingga yang terlalu berambisi membuat koalisi besar sehingga bikin takut calon lainnya.
Ternyata di internal partai politik, urusan daftar mendaftar pilkada ini juga membawa urusan pelik yang bikin ruwet para pengurus partai. Di Partai Golkar misalnya, konflik internal yang terjadi membuat banyak kader partai berlambang beringin itu kesulitan mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah.
Nah, gara-gara gagal mencalonkan diri dalam Pilkada Serentak 2015 ini, dua kader Partai Golkar akhirnya mengajukan gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Mereka mempersoalkan impotensi alias tidak efektifnya mahkamah partai dalam UU Partai Politik untuk menyelesaikan konflik partai.
Uji materi ini diajukan oleh Gusti Iskandar dan Yanda Zaihifni Ishak. Keduanya merupakan bakal calon yang mengajukan diri dalam pilkada gelombang pertama ini. Gusti mengajukan diri sebagai bakal calon Gubernur Kalimantan Selatan untuk periode 2015-2020. Sementara Yanda mengajukan diri sebagai bakal calon Gubernur Provinsi Jambi.
Kedua pemohon ini merupakan bakal calon kepala daerah dari partai Golkar yang berasal dari kubu Agung Laksono yang merasa sebagai kubu yang sah lantara mengantongi SK Menkumham meski putusan PN Jakarta Utara membatalkan SK tersebut, namun putusan itu belum memiliki kekuatan hukum tetap. Golkar sendiri memang belum bisa benar-benar islah dan sedang melakukan proses penyelesaian perselisihan kepengurusan di pengadilan.
Nah kaitannya dengan kedua kader dari kubu Agung tadi, meski meyakini mereka berhak mengajukan diri sebagai calon kepala daerah, ternyata pengajuan kedua orang tersebut sudah ditolak oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan alasan SK tadi masih dalam sengketa dan belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Atas dasar penolakan tersebut, mereka mengajukan gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menggugat adalah Pasal 33 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (UU Parpol) dan Pasal 2 huruf e Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN). Dalam Pasal 33 Ayat (1) diatur bahwa dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan negeri.
Adapun Pasal 32 UU Parpol berisi lima ayat yang berisi ketentuan, perselisihan partai diselesaikan oleh internal partai sesuai AD/ART melalui mahkamah partai. Susunan mahkamah partai atau sebutan lain sejenisnya disampaikan pada kementerian dan bertugas melakukan penyelesaian perselisihan internal paling lambat 60 hari. Masih pada pasal yang sama, disebutkan putusan mahkamah partai bersifat final dan mengikat secara internal dalam hal perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan.
Akibat Pasal 33 UU Parpol yang dianggap multitafsir ini, muncul tafsir berbeda-beda di kalangan hakim pengadilan negeri dalam memutus persoalan kasus yang sama. Misalnya dalam konteks Golkar, pengadilan negeri (PN) Jakarta Utara dalam putusan selanya menyatakan berwenang mengadili perkara tersebut. Tapi, dalam putusan PN Jakarta Barat dan PN Jakarta Pusat, malah menyatakan tidak berwenang mengadili perkara tersebut lantaran kewenangan tersebut dianggap menjadi milik mahkamah partai.
Lalu pemohon juga menggugat Pasal 2 huruf e UU PTUN yang menyebutkan: "Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut UU ini yaitu keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku".
MENAFSIR MAKNA SENGKETA KEPENGURUSAN PARTAI - Kuasa Hukum para pemohon, Heriyanto menilai, Pasal 33 Ayat (1) UU Parpol menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab dalam Pasal 32 khususnya Ayat (4) dan Ayat (5) disebutkan perselisihan partai harus diselesaikan dalam waktu 60 hari. "Jadi dia harus selesai," ujar Heriyanto dalam sidang pendahuluan UU Parpol dan UU PTUN di MK, Jakarta, Kamis (30/7) kemarin.
Ia menambahkan, pada Pasal 32 Ayat (5) juga disebutkan putusan mahkamah partai bersifat final dan mengikat. Ia pun merujuk pada sejarah konflik partai yang pernah terjadi dan berlangsung berkepanjangan. Misalnya sengketa partai politik pada PKB antara Gus Dur dan Muhaimin yang dibawa ke pengadilan.
Akibat sengketa tersebut dibawa ke pengadilan penyelesaiannya tidak menghasilkan win-win solution. Ia menyebutkan contoh-contoh lain sengketa kepengurusan partai misalnya yang dialami Partai Kedaulatan dan Partai PPDI yang juga memakan waktu yang lama dalam proses hukumnya.
Belajar dari pengalaman PKB dan partai lainnya, saat perubahan UU Nomor 2 Tahun 2008 ke UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang partai politik, pemerintah menginginkan agar sengketa kepengurusan partai bersifat final dan mengikat melalui mahkamah partai. Sehingga sengketa tidak perlu lagi dibawa ke pengadilan negeri dan partai harus menyelesaikan konfliknya sendiri.
Ia pun mengacu pada risalah rapat saat pembentukan UU tersebut. Menurutnya dalam risalah itu disebutkan, pembedaan antara sengketa politik dengan sengketa keperdataan. Sengketa politik merujuk pada sengketa kepengurusan. Sementara sengketa kepedataan diantaranya terkait pemecatan dan pertanggungjawaban keuangan.
Dalam konteks ini disebutkan bahwa yang dapat dibawa ke pengadilan negeri hanyalah yang terkait dengan keperdataan. Adapun sengketa politik harus diselesaikan di internal partai politik. Sebab yang paling memahami partai bersangkutan adalah orang di dalam partai politik itu sendiri.
Partai politik juga merupakan komunitas tersendiri yang memiliki hukum di internalnya. Sehingga pihak yang dengan sukarela masuk menjadi anggota partai harus mengikuti hukum yang berlaku dalam partai tersebut.
Persoalannya, ia menilai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) salah mengkonstruksikan norma dalam UU tersebut. "Jadi kita harus mendudukkan lagi semangat UU Parpol supaya mahkamah partai menjadi efektif," lanjutnya.
Menurutnya, ketika ada pihak yang tidak puas dengan putusan mahkamah partai maka bisa membela diri di dalam Musyawarah Nasional atau Musyawarah Nasional Luar Biasa. Permasalahannya persoalan yang seharusnya bisa selesai di mahkamah partai, dalam penerapannya malah tetap dibawa ke pengadilan negeri akibat pasal yang digugat. Sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan mengakibatkan kerugian pada pemohon.
Selanjutnya, atas uji materi Pasal 2 huruf e UU PTUN, ia merujuk pada pengalaman yang pernah terjadi pada perselisihan sejumlah partai. Pada saat Patrialis Akbar masih menjadi menteri hukum dan HAM (Menkumham), PTUN menyatakan tidak dapat menerima gugatan atas perselisihan Partai Kedaulatan dan PRRN. Tapi saat Menkumham periode Yasonna Laoly, PTUN menyatakan bisa menerima gugatan sengketa perselisihan partai.
Dalam catatan gresnews.com, putusan PTUN memang memutuskan untuk menunda pelaksanaan SK Menkumham. Tapi putusan PTUN ini dianulir oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Akibatnya, kubu Agung mengklaim diri sebagai kepengurusan yang sah tetap berdasarkan SK Menkumham.
Terlepas hal itu, ia menilai terdapat ketidakpastian hukum terhadap penilaian kompetensi absolut PTUN. Sehingga seharusnya saat periode Patrialis maupun periode Yasonna harus terdapat kepastian hukum atas kompetensi PTUN.
SENGKETA PARPOL HARUS SELESAI DI INTERNAL - Dalam petitumnya, pemohon meminta agar majelis hakim MK memutuskan uji materi pasal yang digugat dinyatakan sebagai konstitusional bersyarat. Pemohon meminta agar Pasal 33 Ayat (1) UU Parpol dianggap tidak bertentangan dengan konstitusi sepanjang mencakup makna penyelesaian perselisihan terkait pelanggaran terhadap hak anggota partai, pemecatan tanpa alasan yang jelas, penyalahgunaan wewenang, dan pertanggungjawaban keuangan dan keberatan terhadap putusan partai politik dapat diajukan upaya hukum ke pengadilan negeri.
Lalu pemohon juga meminta agar Pasal 2 huruf e UU PTUN dinyatakan tidak bertentangan dengan konstitusi sepanjang dimaknai mencakup mahkamah partai yang diberi kewenangan untuk memeriksa dan memutus suatu perselisihan dengan putusan final dan mengikat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menanggapi permohonan pemohon, Hakim Ketua Patrialis Akbar mengatakan pasal yang diujimaterikan harus dikaitkan dengan batu uji atau konstitusional yang ada dalam UUD 1945. Sehingga jangan hanya mempertemukan dua ayat dalam UU yang sama. "Tapi lebih saudara arahkan bahwa itu bertentangan dengan konstitusi. Itu belum kelihatan," ujar Patrialis dalam sidang yang sama.
Lalu Hakim Anggota Wahiduddin Adams mengatakan dalam petitum Pasal 33 Ayat (1) disebutkan juga Pasal 32 dalam penjelasannya. Menurutnya Pasal 33 akan terkait atau berimbas pada Pasal 32 ketika misalnya MK memutuskan permohonannya konstitusional bersyarat.
"Pasal 32 ada lima ayat. Nah Pasal 32 ada penjelasannya. Coba dicermati hal-hal seperti itu," kata Wahiduddin dalam kesempatan yang sama.
Terkait hal ini, Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond J Mahesa mengatakan, persoalan yang diuji memang sama dengan konteks kasus Golkar dan PPP. Menurutnya, pada praktiknya putusan mahkamah partai final dan mengikat memang tidak ada dalam dua partai yang sedang berkonflik ini.
Dengan demikian, kata Desmond, yang berlaku Pasal 33 yang memungkinkan perselisihannya dibawa ke pengadilan. Saat ditanya soal semangat pembuatan UU Parpol khususnya frasa 'tidak tercapai' apakah hanya terbatas persoalan sengketa politik atau keperdataan, Desmon mengatakan ada banyak kasus yang berbeda dalam persoalan perselisihan partai seperti kasus diberhentikan menjadi anggota partai begitupun sengketa kepengurusan.
"Sengketa kepengurusan jadi begitu juga akhirnya (dibawa ke pengadilan), malah banyak hal dikembangkan dan berkaitan dengan macam-macam," kata Desmond kepada gresnews.com, Kamis (30/7).
Sumber: http://www.gresnews.com/berita/hukum/90317-menggugat-impotensi-mahkamah-partai/2/