KENDARI – Peminat kursi kepala daerah dan wakil kepala daerah di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), rendah. Indikasi tersebut tampak dari pendaftar calon kepala daerah, calon bupati dan wakil bupati, pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) di sejumlah kabupaten yang hanya sedikit.
Di Kabupaten Konawe Selatan, misalnya, calon kepala daerah yang mendaftar ikut pilkada hanya dua pasangan, yaitu pasangan petahana dan pasangan wakil bupati petahana.
Pada pilkada sebelumnya, di kabupaten tersebut diikuti delapan pasangan calon bupati dan wakil bupati. Demikian pula di Kabupaten Buton Utara, hanya diikuti dua pasangan calon bupati dan wakil bupati. Di kabupaten tersebut pilkada sebelumnya diikuti lima pasangan calon bupati dan wakil bupati.
Sedangkan di Konawe Selatan yang sebelumnya diikuti lima pasangan calon bupati dan wakil bupati, pada pilkada serentak ini hanya akan diikuti tiga pasangan calon bila pasangan calon dari Partai Golkar lolos verifikasi KPU. Bila calon dari Partai Golkar terganjal peraturan KPU, maka Pilkada Konawe Selatan hanya akan diikuti dua pasangan calon bupati dan wakil bupati.
Sementara di Kabupaten Wakatobi yang pada pilkada sebelumnya dikuti lima pasangan calon bupati dan wakil bupati, kali ini hanya akan diikuti tiga pasangan calon bupati dan wakil bupati.
Sedangkan di Kabupaten Muna yang sebelumnya diikuti lima pasangan calon bupati dan wakil bupati, kali ini yang mendaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat hanya tiga pasangan calon.
Di Kabupaten Kolaka Timur yang baru pertama menyelenggarakan pilkada, hanya ada di pasangan calon bupati dan wakil bupati yang mendaftar di KPU.
Sedangkan di Konawe Kepulauan yang juga baru pertama menyelenggarakan Pilkada, hanya akan diikuti dua pasangan calon bupati dan wakil bupati.
Dampak Putusan MK
Pengamat politik dari Universitas Haluoleo Kendari, Eka Suaib dalam percakapan dengan SH di Kendari, Selasa (28/7) mengatakan rendahnya minat masyarakat menjadi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah tersebut merupakan dampak dari keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengharuskan anggota DPRD mundur dari keanggotaan DPRD bila ikut pilkada.
“Keputusan MK yang mengharuskan anggota DPRD mundur dari keanggotaan DPRD bila ikut pilkada itu membuat para anggota DPRD yang sudah bersosialisasi ikut pilkada mengurungkan niat menjadi calon kepala daerah,” kata Eka.
Selain dipicu oleh keputusan MK, rendahnya minat masyarakat ikut pilkada juga disebabkan oleh Undang-undang Aparat Sipil Negera (ASN) yang mengharuskan pegawai negeri sipil (PNS) mundur dari status PNS bila ikut pilkada. Penerapan undang-undang tersebut membuat para birokrasi yang masih lama memasuki usian pensiun, takut meninggalkan status sebagai PNS.
“Saya kira dua regulasi, putusan MK dan Undang-undang ASN itu yang menurunkan minat masyarakat ikut pilkada. Anggota DPRD yang belum setahun terpilih jadi anggota legislatif takut meninggalkan kursi dewan, sedangkan PNS takut kehilangan status sebagai PNS,” katanya.
Menurut Eka, PNS yang nekat meninggalkan statusnya untuk ikut pilkada serentak di Sultra hanya tujuh orang. Demikian pula anggota legislatif yang mengundurkan diri dari keanggotaan dewan, sebanyak tujuh orang.
“Para anggota legislatif yang mengundurkan diri terdiri dari empat orang anggota DPRD Provinsi Sultra, dua anggota DPRD Kabupaten dan satu anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Anggota DPD RI, Rusman Emba ikut pilkada di Kabupaten Muna,” jelasnya.
Sedangkan PNS yang mengundurkan diri dari status PNS terdiri dari birokrat Sekretariat Pemerintah Provinsi Sultra empat orang dan tiga orang birokrat di tiga kabupaten di Sultra.
Sumber: http://www.sinarharapan.co/news/read/150730024/peminat-kursi-kepala-daerah-rendah