Dua orang anggota Partai Golkar yang hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah di Provinsi Kalimantan Selatan dan Provinsi Jambi mengajukan gugatan terhadap Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Partai Politik (UU Parpol) dan Pasal 2 angka 5 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN). Keduanya yakni Gusti Iskandar dan Yanda Zaihifni Ishak menganggap dirugikan hak konstitusionalnya akibat kedua pasal tersebut yang secara tidak langsung telah menjegal langkah mereka menjadi calon kepala daerah.
Pasal 33 ayat (1) UU Parpol menyatakan:
Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan negeri.
Pasal 2 angka 5 UU PTUN menyatakan:
Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Seperti diketahui Partai Golkar mengalami konflik internal berupa adanya dualisme kepengurusan. Menurut para Pemohon, Mahkamah Partai Golkar sudah memutus bahwa kepengurusan DPP yang sah yakni yang dipimpin Ketua Umum Agung Laksono dan Sekretaris Jenderal Zainudin Amali. Putusan Mahkamah Partai Golkar tersebut juga telah disahkan oleh Keputusan Menteri Hukum dan HAM.
Namun, Pasal 33 ayat (1) UU Parpol justru menyatakan bila perselisihan internal Parpol terkait kepemimpinan yang sah tidak dapat diselesaikan maka penyelesaian perselisihan harus dilakukan melalui pengadilan negeri. Pemohon yang diwakili Heriyanto selaku kuasa hukum menyatakan pasal a quo mengandung ambiguitas dan ketidakpastian hukum terutama pada frasa “tidak tercapai”.
Hal tersebut disampaikan Heriyanto pada sidang pendahuluan perkara ini yang digelar Kamis (30/7) di Ruang Sidang Pleno MK dengan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar sebagai pemimpin sidang. Heriyanto berargumen bahwa sebenarnya Pasal 32 ayat (4) dan (5) UU Parpol sudah menegaskan bahwa Mahkamah Partai harus menyelesaikan perselisihan dimaksud dalam 60 hari. Menurut Pemohon, seperti yang diungkapkan Heriyanto, membawa masalah kepengurusan Parpol ke ranah pengadilan justru membuat permasalahan semakin runyam. Sebab, pengadilan tidak akan memberikan penyelesaian masalah yang imbang atau win-win solution.
Heriyanto juga menyampaikan putusan Mahkamah Parpol seharusnya bersifat final dan mengikat demi memberikan kepastian hukum. “Artinya, kalau partai mau berkonflik, ya partai itu harus bisa menyelesaikan konfliknya sendiri. Jangan sampai peran negara yang tidak bisa memberikan win-win solution itu masuk ke dalamnya,” ujar Heriyanto.
Ketidakpastian hukum terkait kepengurusan Partai Golkar yang sah tersebut dikatakan Heriyanto telah merugikan kedua Pemohon secara tidak langsung. Sebab, Pemohon sudah dinyatakan ditolak pedaftarannya oleh KPU karena persoalan kepengurusan di pengadilan belum selesai sampai saat ini. Dengan kata lain, jika DPP yang disahkan oleh Keputusan Menteri Hukum dan HAM belum final dan mengikat maka persetujuan pencalonan kepada para Pemohon juga tidak dapat diberikan.
Patrialis Akbar selaku Ketua Panel Hakim pada sidang perkara No. 78/PUU-XIII/2015 ini berkali-kali mengingatkan Pemohon agar menegaskan kembali kedudukan hukum (legal standing) yang dipakai untuk mengajukan perkara ini.
“Saya mau luruskan mengenai legal standing karena kita tidak bicara dulu masalah kepengurusan partai yang mana yang sah atau yang tidak sah. Karena memang kita tahu juga bahwa ada proses-proses di lembaga peradilan. Sekarang duduk dulu, legal standing-nya yang penting supaya perkara ini jelas. Kalau Saudara masih bertahan dengan posisi itu dan menyebut ini adalah mewakili Partai Golkar, ini perkaranya enggak akan naik. Golkar itu sudah ada di DPR, ya. Jadi, saya menyarankan pada legal standing sebagai warga negara Republik Indonesia yang dirugikan hak konstitusionalnya sebagai calon ya,” saran Patrialis yang didampingi Wahiduddin Adams dan Manahan MP Sitompul. (Yusti Nurul Agustin)