Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Sidang yang beragendakan mendengarkan keterangan Pemerintah tersebut dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Mewakili Pemerintah, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Haiyani Rumondang menuturkan ketentuan Pasal 90 ayat (2) UU Ketenagakerjaan dan penjelasannya justru memberikan keseimbangan terhadap pekerja dan pengusaha. Dalil Para Pemohon dalam permohonan, dinilai Pemerintah lebih terkait dengan implementasi pelaksanaan ketentuan a quo, bukan permasalahan konstitusionalitas keberlakuan suatu norma.
Haiyani menjelaskan, filosofi upah minimum adalah sebagai perlindungan dasar pekerja/buruh dan jaring pengaman agar upah tidak jatuh merosot ke level terendah. Berdasarkan filosofi tersebut, diatur kebijakan upah minimum sebagaimana yang diamanatkan Pasal 88 ayat (3) huruf a UU Ketenagakerjaan yang harus dipatuhi oleh seluruh perusahaan.
“Namun kenyataannya, karena kondisi kemampuan keuangan perusahaan untuk membayar upah minimum tidak semua sama, perlu adanya suatu ketentuan untuk memberikan kepastian hukum terhadap pelaksanaan upah minimum tersebut,” jelasnya dalam sidang perkara nomor 72/PUU-XIII/2015 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (30/7).
Ia melanjutkan, pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum sebagaimana yang telah ditetapkan oleh gubernur dan UU Ketenagakerjaan, diberikan pengecualian dengan cara melakukan penangguhan upah minimum. Penangguhan tersebut dalam rangka memberikan kesempatan kepada perusahaan dalam jangka waktu tertentu, untuk memberikan kewajiban membayar upah sesuai dengan kemampuan.
“Dengan demikian penangguhan pembayaran upah minimum kepada pekerja buruh oleh perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan justru memberikan perlindungan kepada pekerja buruh untuk tetap bekerja pada perusahaan tersebut. Ketentuan a quo juga dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum mengenai keberlangsungan hubungan kerja,” imbuhnya.
Pemerintah menjelaskan, mekanisme penangguhan upah minimum pun harus dilakukan sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor Kep.231/men/2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum. Salah satu mekanisme yang diatur, yakni permohonan penangguhan upah minimum harus dilakukan dengan adanya kesepakatan di antara perusahaan dan pekerja.
Sebelumnya, Gabungan Serikat Buruh Mandiri (DPP GSBM) dan Serikat Buruh Bangkit (DPP SBB) sebagai Pemohon menilai ketentuan Pasal 90 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang mengatur larangan membayar upah lebih rendah dari upah minimum menjadi tidak wajib dengan adanya Pasal 90 ayat (2) dan penjelasannya. Aturan tersebut telah membuka peluang bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum menangguhkan pembayarannya.
Pemohon berpendapat, berdasarkan Pasal 90 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, penangguhan tidak hanya mengenai waktu, tapi juga mengenai jumlah upah yang dibayar oleh pengusaha. Bentuk penangguhan dapat berupa membayar upah minimum sesuai upah minimum yang lama, membayar upah minimum lebih tinggi dari upah minimum yang lama, tetapi lebih rendah dari upah minimum baru, atau menaikkan upah minimum secara bertahap.
“Adanya kebijakan penangguhan upah melahirkan ketidakpastian. Upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah menjadi tidak pasti karena dimungkinkan untuk menyimpangi ketentuan tersebut, sehingga upah yang diterima oleh pekerja atau buruh menjadi di bawah standar kebutuhan hidup layak,” ujar Kuasa Hukum Pemohon Nikson Gans Lalu, Rabu (17/6).
Padahal, menurut Pemohon, kepastian hukum terhadap hak-hak buruh atau pekerja dalam hubungan industrial, termasuk hak untuk mendapatkan imbalan yang layak, diatur dalam UU Ketenagakerjaan untuk menghindari tindakan sewenang-wenang pembayaran upah yang dapat dilakukan pengusaha.
Oleh karena itu, dalam petitumnya Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 90 ayat (2) UU Ketenagakerjaan dan penjelasannya bertentangan dengan Konstitusi dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. (Lulu Hanifah)