Sidang pemeriksaan pendahuluan uji materi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura – Perkara No. 77/PUU-XIII/2015 digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (30/7) siang. Nurul Mawaddah Zogina Batubara selaku Pemohon menguji Pasal 28 ayat (2) UU a quo.
Pemohon adalah direktur CV. Anona yang melakukan usaha pembudidayaan bibit tanaman sirsak di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur. Pemohon merasa terhalang usahanya dengan berlakunya Pasal 28 ayat (2) UU Hortikultura, yang menyatakan, ‘Setiap orang dilarang mengeluarkan varietas dari sumber daya genetika hortikultura yang terancam punah dan yang dapat merugikan kepentingan nasional dari wilayah Republik Indonesia’.
“Kami sudah melalui beberapa proses untuk memproduksi bahan baku yaitu daun sirsak dan benih sirsak. Nah, untuk beberapa pengiriman ekspor barang kami kemarin lancar, sedangkan untuk yang terakhir yaitu untuk benih mengalami halangan, yaitu berdasarkan adanya Pasal 28 ayat (2),” ungkap Nurul, dihadapan Majelis Sidang Panel yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati.
Pemohon berusaha meyakinkan Majelis Hakim bahwa usahanya tidak akan menyebabkan kepunahan genetik hortikultura. Bahkan Pemohon bersedia memberikan 500 pohon sirsak kepada pemerintah dalam setiap bulannya untuk dikembangkan, sehingga tingkat kepunahan yang dimaksud tidak akan terjadi.
Selain itu, Pemohon mengungkapkan telah melakukan kerja sama dengan kelompok tani dan telah memberikan kesejahteraan kepada petani dalam kelompok tani di dua provinsi, namun tidak diberikan izin ekspor. Padahal, kegiatan ekspor bibit sirsak tersebut menjadi peluang bagi kelompok tani untuk meningkatkan pendapatan petani. Dalam permohonannya, Pemohon kemudian meminta agar Majelis Hakim menyatakan Pasal 28 ayat (2) UU Hortikultura bertentangan dengan UUD 1945 dan menginginkan adanya pengecualian terhadap tanaman sirsak.
Saran Hakim
Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati memberikan sejumlah saran perbaikan teknis terhadap permohonan Pemohon. Maria Farida juga mengklarifikasi kedudukan hukum Pemohon yang mendalilkan dirinya sebagai perorangan Warga Negara Indonesia. Menurut Maria Farida, selain bukti Kartu Tanda Penduduk (KTP), Pemohon juga harus menjelaskan hak dan kewenangan konstitusional yang dimiliki Pemohon serta kerugian konstitusional yang dialami.
“Kemudian Anda sebagai warga negara berdasarkan bukti KTP. Di sini Anda harus menjelaskan kenapa Anda mengajukan permohonan ini di sini. Anda harus menjelaskan ada enggak hak dan kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Kalau Anda mengatakan punya hak konstitusional, maka Anda menyebutkan pasal-pasal yang menjadi rumusan, misalnya 27 ayat (1), 28D ayat (1), 28I ayat (2) UUD 1945,” urai Maria Farida.
Sementara Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna memberikan nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki penulisan permohonan. Palguna kemudian menyarakan agar Pemohon mengunjungi website MK. “Di situ bisa Anda download ya, ada beberapa bentuk-bentuk permohonan, caranya menulis permohonan itu ada di sana, supaya benar,” ucap Palguna.
Lebih lanjut, Palguna meminta Pemohon agar lebih jelas lagi dalam menguraikan kedudukan hukum (legal standing). “Karena berhasil atau tidaknya permohonan ini akan ditentukan pada uraian Anda tentang legal standing itu. Kalau Anda tidak mampu menjelaskan bahwa Anda mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan ini, ya permohonannya akan dinyatakan tidak dapat diterima. Jadi Mahkamah tidak akan memeriksa pokok permohonannya,” kata Palguna. (Nano Tresna Arfana)