Mungkin sudah banyak yang lupa, salah satu proklamator kemerdekaan kita, Bung Hatta, pernah "menyelamatkan" Muhammadiyah? Lebih dari 50 tahun lalu, tepatnya ketika Indonesia lepas dari bencana upaya kudeta G-30-S/PKI, rakyat larut dalam euforia kemenangan, termasuk juga kalangan umat Islam.
Beberapa tokoh eks pimpinan Partai Islam Masyumi mencoba memanfaatkan momentum runtuhnya komunis di Indonesia itu dengan berupaya merehabilitasi kembali Partai Masyumi yang dibubarkan Presiden Sukarno pada 1960. Karena waktu itu yang berkuasa dalam pemerintahan Orde Baru adalah Presiden Soeharto, kepada Presiden Soeharto-lah permohonan rehabilitasi Masyumi itu diajukan.
Namun, upaya tersebut tidak membuahkan hasil. Presiden Soeharto menolak merehabilitasi Masyumi, tapi memberikan peluang bagi sebagian eks anggota Masyumi untuk membentuk partai baru.
Di kalangan beberapa tokoh Muhammadiyah juga ada keinginan agar Muhammadiyah menjadi partai politik sebagai akibat buntunya upaya untuk merehabilitasi Masyumi. Tampaknya, keinginan sebagian tokoh Muhammadiyah itu terdengar oleh Bung Hatta.
Bung Hatta menemui tokoh-tokoh Muhammadiyah dan proklamator itu mendesak agar Muhammadiyah jangan sampai menjadi partai politik. Bung Hatta menginginkan agar Muhammadiyah tetap menjadi organisasi kemasyarakatan Islam yang bergerak di lapangan pendidikan dan sosial.
Organisasi Muhammadiyah yang bakal melaksanakan Muktamar ke-47 pada 3-7 Agustus 2015 di Makassar, sedikit banyak mendapat sorotan dari para pengamat, selain juga terhadap NU yang akan menyelenggarakan muktamarnya di Jombang, Jawa Timur, hampir bersamaan, yakni pada 1-5 Agustus 2015.
Berkenaan keterkaitan Muhammadiyah dengan dunia politik juga menjadi objek sorotan. Muhammadiyah yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan dan beberapa tokoh lain sejak semula memaksudkan pendiriannya sebagai organisasi sosial-kemasyarakatan. KH Ahmad Dahlan menekankan pentingnya kesalehan sosial bahwa ilmu agama itu harus diamalkan dalam bentuk kegiatan nyata dalam masyarakat. Sejak semula, boleh dikatakan Muhammadiyah merupakan organisasi kemasyarakatan in action dan anti-NATO (no action talk only).
Dikisahkan, Muhammadiyah mulai akrab dengan dunia politik sejak dilahirkannya Partai Masyumi yang pada 1945 ditetapkan sebagai satu-satunya parpol Islam di Indonesia oleh segenap organisasi Islam masa itu. Masyumi memuat ketentuan keanggotaannya terdiri atas perorangan maupun organisasi.
Dalam hubungan ini, Muhammadiyah merupakan anggota istimewa Masyumi, di samping ormas-ormas Islam lainnya kala itu. Tak sedikit, tokoh Masyumi yang juga kader atau tokoh Muhammadiyah.
Namun, dalam struktur kepengurusan tak banyak terjadi rangkap jabatan antara Masyumi dan Muhammadiyah. Memang, perlu diakui, sebelum menjadi bagian dari Masyumi pada zaman kolonial, tak sedikit kader Muhammadiyah yang terjun pula sebagai pemimpin politik. Tapi, mereka tampil sebagai pribadi dan tidak mewakili Muhammadiyah secara institusional.
Selanjutnya, kegiatan kemasyarakatan Muhammadiyah terus berkembang menjalani misinya yang utama di tengah-tengah hiruk pikuk dan pasang surut kehidupan politik di Tanah Air.
Demikianlah, ketika Masyumi dibubarkan pada 1960, Muhammadiyah dengan sepenuhnya dapat terus menjalankan misi dan kiprahnya. Organisasi ini dalam sejarahnya selalu mengambil jarak yang proporsional dengan penguasa, tidak terlalu dekat dan juga tidak terlalu jauh, sejak masa kekuasaan Presiden Sukarno hingga zaman Reformasi saat ini.
Adakalanya, Muhammadiyah melontarkan sikap kritis, tetapi tidak sampai membuat merah kuping penguasa. Muhammadiyah tetap berkembang secara independen meskipun tak memperoleh bantuan atau fasilitas apa pun dari pemerintah, apalagi dianakemaskan.
Posisi Muhammadiyah yang independen ini menjadi agak teguncang dalam dunia politik ketika merespons perkembangan tercetusnya Reformasi 1998. Beberapa tokohnya mendirikan parpol baru, yakni Partai Amanat Nasional (PAN). Meskipun lebih bercorak kebangsaan, tak dapat dimungkiri bahwa PAN merupakan perwujudan dari penyaluran aspirasi politik kalangah Muhammadiyah yang merasa tidak puas dengan parpol lain yang sudah ada. Kalangan NU pun mendirikan parpol baru, yakni Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Kemunculan PAN ternyata tidak mengganggu kegiatan Muhammadiyah sehari-hari. Pengurus Muhammadiyah sejauh ini tidak secara eksplisit merangkap jabatan dalam parpol, demikian pula sebaliknya.
Sikap Muhammadiyah ini ditegaskan kembali oleh pernyataan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin pada 2014 bahwa "Muhammadiyah tidak melarang kader-kadernya untuk berpolitik praktis atau politik kepartaian. Muhammadiyah hanya membatasi kadernya yang menjadi pengurus harian, tidak rangkap jabatan dalam partai politik."
Dengan uraian singkat ini, Muhammadiyah telah mengalami pasang surut dalam persentuhannya dengan dunia politik. Pada kurun 1945-1960 menjadi bagian dari Partai Masyumi. Namun, sejak masa Reformasi menjadi lebih "tinggi" statusnya karena secara tak langsung ikut mensponsori lahirnya PAN.
Jihad konstitusi
Suatu hal yang menarik dari Muhammdiyah belakangan ini adalah gerak langkah organisasi itu melakukan "aksi-aksi" yang oleh Ketua Umumnya disebut sebagai jihad konstitusi. Sebagaimana halnya NU dan ormas-ormas Islam lain, bagi Muhammadiyah masalah dasar negara sudah selesai. Dasar negara adalah Pancasila yang tak bisa diganggu gugat lagi.
Sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959, semua parpol Islam, yakni Masyumi, NU, PSII, Perti, dan lainnya menerima dekrit tersebut maka Pancasila sudah diterima semua pihak, termasuk Muhammadiyah yang waktu itu merupakan bagian dari Masyumi. Namun, bagi Muhammadiyah, pelaksanaan konstitusi dalam hal ini UUD 1945, termasuk di dalamnya Pancasila, belum dan bahkan tidak akan pernah selesai.
Muhammadiyah memandang, salah satu hambatan terwujudnya cita-cita kemerdekaan adalah banyak kebijakan dan perilaku aparat negara yang menyimpang dari konstitusi. Itulah yang melatarbelakangi Muhammadiyah melontarkan jihad konstitusi. Dan, hal itu secara konsisten juga dilakukan dalam tindak nyata melalui jalur konstitusi.
Muhammadiyah banyak menaruh perhatian pada sila kelima Pancasila, yakni "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia" dan Pasal 33 UUD 1945. Pasal ini mengatur tentang bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di dalamnya dan dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pasal itu juga mengamanatkan perekonomian nasional harus diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi.
Sejauh ini, Muhammadiyah telah menginventarisasi 115 undang-undnag yang dianggap melanggar konstitusi dan telah diajukan gugatannya ke Mahkamah Konstitusi. Empat di antaranya sudah dikabulkan majelis hakim Mahkamah Konsitusi, yakni UU Nomor 22 Tahun 2011 tentang Minyak dan Gas Bumi; UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, dan UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Rumah Sakit.
Suatu hal yang patut dicatat, meskipun Muhammadiyah sudah punya andalan berupa parpol bernama PAN, tapi dalam mengawal konstitusi, Muhammadiyah tetap mandiri. Tak hanya mengandalkan parpol yang tidak jarang menjauhi aspirasi rakyat yang akhir-akhir ini cenderung berkurang drastis kepercayaan mereka pada kalangan politikus.
Saya kira, sikap Muhammdiyah yang tetap menjaga jarak dengan dunia politik, tapi dengan caranya sendiri mengawal konstitusi (jihad konstitusi) merupakan sikap yang tepat, sebagai salah satu cara mewujudkan Islam dan negara yang berkemajuan. Selamat bermuktamar! n
Pramudito
Mantan Diplomat, Pemerhati Politik
Sumber: http://www.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/15/07/29/ns934521-muhammadiyah-kawal-konstitusi