Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan uji materi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) – Perkara No. 81/PUU-XIII/2015 pada Rabu (29/7) siang, di Ruang Sidang Pleno MK.
Jendaita Pinem bin Zumpa’i Pinem sebagai Pemohon menguji Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1) Pasal 74 ayat (1) dan ayat (5), Pasal 149 ayat (1), Pasal 150 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 158, Pasal 163 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 164 UU Minerba. Ketentuan tersebut secara garis besar mengatur tentang izin usaha pertambangan berikut sanksinya.
Pasal 37 UU Minerba yang menyebutkan, “IUP diberikan oleh: a. Bupati/Walikota apabila WIUP berada di dalam satu wilayah Kabupaten/Kota; b. Gubernur apabila WIUP berada pada lintas wilayah kabupaten/Kota dalan 1 (satu) Provinsi setelah mendapat rekomendasi dari Bupati/Walikota setempat sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan; dan c. Menteri apabila WIUP berada pada lintas wilayah Provinsi setelah mendapat rekomendasi dari Gubernur dan Bupati/Walikota setempat sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.”
Sedangkan Pasal 40 ayat (3) UU Minerba menyebutkan, “Pemegang IUP yang bermaksud mengusahakan mineral lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib mengajukan permohonan IUP baru kepada Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.”
Pemohon adalah seorang pekerja di CV. Tri Karya Abadi yang dinyatakan bersalah karena melakukan penambangan tanpa izin dan telah menjalani hukuman selama 8 bulan. Menurut Pemohon, pertambangan CV. Tri Karya Abadi dihentikan oleh penyidik pada 25 Mei 2009 tanpa berkoordinasi dengan pemberi ijin atau dengan Inspektur Tambang. “Saya sama sekali belum pernah melakukan usaha tambang itu. Padahal saya bekerja di perusahaan pertambangan itu baru 48 hari,” papar Jendaita kepada Panel Hakim.
Pemohon menuturkan, sewaktu bekerja di CV. Tri Karya Abadi, Ia tidak melakukan penambangan melainkan hanya melakukan ekspor biji bauksit yang telah tertumpuk di tempat penyimpanan sementara batubara (stock pile) sebanyak 171.000 ribu ton ke luar negeri. Pemohon beranggapan, penghentian Pertambangan CV. Tri Karya Abadi bersifat diskriminatif dan bertentangan dengan UUD 1945.
Pemohon pun telah melaporkan peristiwa pelanggaran yang terdapat dalam pekara ini baik kepada Propam Mabes Polri maupun kepada Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Dengan demikian, menurut Pemohon “pelaksanaan” norma dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1) Pasal 74 ayat (1) atau ayat (5), Pasal 149 ayat (1), Pasal 150 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 158, Pasal 163 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 164 UU No. 4 Tahun 2009 merupakan pelaksanaan norma yang diskriminatif karena peristiwa yang didakwakan tidak sesuai dengan fakta.
Usai Pemohon menyampaikan dalil permohonan, Hakim Konstitusi Patrialis Akbar selaku pimpinan sidang memberikan beberapa nasihat kepada Pemohon terkait pokok permohonan. “Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai kewenangan untuk menilai, ikut campur terhadap kekuasaan lembaga kehakiman lainnya. Kami bisa mendengarkan keluhan Bapak, tapi kami tidak bisa masuk ke ranah itu,” ucap Patrialis.
Dikatakan Patrialis, kasus yang dialami Pemohon lebih berkaitan dengan peradilan umum. “Kalau Bapak dihukum dan Bapak merasa dizalimi oleh putusan terdahulu, upaya yang bisa dilakukan Bapak adalah mengajukan Banding, bisa juga Kasasi maupun Peninjauan Kembali. Nah, Mahkamah Konstitusi tidak terjangkau untuk menangani kasus ini. Kecuali kalau ada norma undang-undang yang tidak benar, kami bisa menilai norma itu bertentangan atau tidak dengan UUD,” ujar Patrialis.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menganggap permohonan Pemohon lebih kepada permasalahan implementasi norma. “Jadi kalau Bapak keberatan dengan pelaksanaan pasal-pasal yang Bapak uji, hal ini boleh dibilang ada constitutional complaint. Dengan demikian, pelaksanaan pasal-pasalnya yang dipersoalkan, bukan soal undang-undang itu bertentangan dengan UUD 1945,” tandas Manahan. (Nano Tresna Arfana)