Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materiil Undang-Undang Peradilan Umum, Undang-Undang Peradilan Agama dan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara yang diajukan oleh jajaran pengurus pusat Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) pada Selasa (28/7), di Ruang Sidang Pleno MK. Kali ini, Komisi Yudisial (KY) sebagai Pihak Terkait menghadirkan dua orang pakar hukum tata negara sebagai ahli, yakni Saldi Isra dan Zainal Arifin Mochtar.
Memberikan keterangan ahlinya, Saldi menyatakan terbentuknya KY merupakan bentuk kesadaran negara akan pentingnya pengawasan terhadap perilaku dan kehormatan hakim. Menurutnya, pembahasan panjang terkait pentingnya badan independen yang bertugas mengawasi hakim sekaligus melakukan rekrutmen calon Hakim Agung telah berlangsung pada masa masa amandemen UUD 1945 di Tahun 1999. Saldi pun kemudian memaparkan para ahli hukum yang turut memberikan masukan dan saran agar segera dibentuk komisi independen tersebut.
“Hamdan Zoelva dari Fraksi PBB telah memulai gagasan atas pentingnya pengawasan bagi para hakim. Tidak hanya itu, Pakar Hukum Tata Negara Profesor Doktor Sri Soemantri juga mengingatkan para pengubah UUD 1945 untuk memberikan perhatian pentingnya Hakim Agung memenuhi unsur-unsur adil, berwibawa dan berkelakuan tidak tercela,” ucapnya, dalam sidang perkara nomor 43/PUU-XIII/2015 yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Lebih lanjut, Saldi menyatakan bahwa sebagai sebuah nomenklatur (tata nama) yang nantinya akan diatur dalam Konstitusi, nama KY muncul secara eksplisit dalam rapat ke 41 Panitia ad hoc 1 Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Saat itu, salah seorang tokoh yakni Agun Gunanjar Sudarsa mengatakan pentingnya Mahkamah Agung (MA) dilengkapi KY sebagai lembaga yang berfungsi untuk memberikan rekomendasi kepada MPR mengenai pengangkatan dan pemberhentian termasuk melakukan pengawasan terhadap Hakim Agung. Setelah itu, perubahan atas sifat, komposisi, keanggotaan dan wewenang KY menjadi salah satu fokus sentral ditengah reformasi kekuasaan kehakiman. Sehingga, lanjut Saldi, gagasan untuk menghilangkan kewenangan KY melakukan pengawasan dan rekrutmen Hakim Agung seakan mengkhianati ide awal reformasi kehakiman yang krusial dan bersejarah.
Senada dengan pendapat itu, Zainal Arifin Mochtar menyatakan ide pendirian KY bahkan telah ada jauh sebelum era reformasi tepatnya di Tahun 1968 dengan nama Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) yang mengatur pengangkatan, mutasi, promosi dan sanksi tindakan indisipliner hakim. Namun ide ini lama dibekukan, hingga akhirnya kembali dibahas pada era reformasi dan menjadi prioritas. Setelah melalui proses pembahasan, Zainal pun berkesimpulan bahwa KY merupakan organ Negara yang dirancang untuk menangani sistem rekrutmen hakim yang selama ini dinilai bermasalah.
“Hampir semua fraksi menyepakati bahwa kehadiran KY sebagai kehendak politik untuk mengurai benang kusut independensi dan akuntabilitas peradilan yang telah lama berada di bawah kekuasaan eksekutif. Perdebatan panjang perubahan konstitusi telah mendorong KY untuk menjalankan fungsi kontrol dan rekrutmen hakim. Oleh karena itu, tidak dapat dinafikkan bahwa KY merupakan organ negara yang didesain untuk menangani sistem rekrutmen hakim yang selama ini dinilai bermasalah.” urai Zainal.
Sebelumnya, jajaran pengurus pusat IKAHI yakni Imam Soebechi, Suhadi, dkk mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang Peradilan Umum, Undang-Undang Peradilan Agama dan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara. Para Pemohon mempersoalkan pengaturan keterlibatan KY dalam proses seleksi Hakim Pengadilan Umum, Hakim Pengadilan Agama dan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara.
Menurut para Pemohon, keterlibatan KY dalam proses seleksi hakim tersebut dapat menimbulkan intervensi suatu lembaga terhadap lembaga lain dan merusak mekanisme checks and balances. Hal ini juga menimbulkan ketergantungan MA kepada KY dalam hal seleksi pengangkatan hakim pada badan peradilan di bawah MA. Para Pemohon beranggapan kewenangan KY dalam UUD 1945 bersifat limitatif, sehingga hanya terbatas pada ‘mengusulkan pengangkatan Hakim Agung’. Hal ini yang kemudian menurut para Pemohon menimbulkan ketidakpastian hukum serta potensial melanggar prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka. (Julie)