PILKADA serentak, yang tahapannya kini sudah dimulai, merupakan momentum yang sangat penting untuk mengukuhkan fondasi sistem demokrasi langsung sebagai anak kandung Reformasi 1998 meskipun sebelumnya sempat ada upaya untuk menjegal kelanjutan sistem demokrasi langsung tersebut di saat penyusunan UU Pilkada 2014.
Namun, terbukti bahwa akar demokrasi di negeri ini kian kukuh tak lekang oleh hantaman politik yang berupaya menghalangi kelanjutan sistem demokrasi langsung di aras lokal tersebut.
UU No 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU No 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Pilkada) telah berupaya untuk menata sistem pilkada dengan lebih komprehensif.
Kemudian, KPU juga telah mengembangkan sistem regulasi teknis-operasional untuk dijadikan sebagai pedoman teknis dalam pelaksanaan Pilkada.
Antara lain Peraturan KPU No 9 Tahun 2015 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati, dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota yang kini telah diperbarui melalui Peraturan KPU No 12 Tahun 2015 serta sederet Peraturan KPU lain yang terkait dengan pelaksanaan Pilkada serentak.
Jika berkaca pada konsiderans Perppu No 1 Tahun 2014, jelas dikatakan bahwa Pilkada secara langsung tetap dipertahankan.
Sebagaimana diatur dalam Perppu No 1 Tahun 2014 yang disebabkan UU No 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang sebelumnya mengatur sistem pilkada yang secara tidak langsung melalui DPRD telah mendapat penolakan secara luas oleh rakyat.
Proses pengambilan keputusannya telah menimbulkan persoalan kegentingan yang memaksa sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No 138/PUU-VII/2009.
Dengan mencermati proses lahirnya UU Pilkada langsung 2015 yang sempat harus melalui friksi politik yang cukup tajam antara pendukung Pilkada langsung (Koalisi Indonesia Hebat) dan Pilkada tak langsung melalui DPRD (Koalisi Merah Putih), kini para calon peserta pilkada serentak perlu menyadari bahwa mereka merupakan aktor-aktor politik di ranah praksis politik yang harus mempertahankan idealisme yang diperjuangkan di ranah legislasi.
Baik oleh Pemerintah maupun sebagian anggota DPRD di masa itu.
Itu bertujuan agar tetap berkomitmen mempertahankan eksistensi sistem pilkada secara langsung sebagai wujud kelanjutan dari Reformasi 1998.
Dengan demikian, baik petahana yang masih berniat untuk mendaftar dan maju kembali sebagai calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, maupun elite politik serta elemen masyarakat yang berniat maju melalui jalur independen perlu mendasarkan niat politiknya di atas komitmen untuk tetap membela demokrasi langsung.
Keberhasilan pilkada serentak.
Pilkada serentak perlu dikawal untuk mendorong adanya sistem pendanaan pilkada yang transparan dan akuntabel.
Petahana harus diawasi agar tidak melakukan pengerahan sumber daya birokrasi (man, money and power) yang menyebabkan pilkada tak berjalan secara adil.
Di sisi lain, seluruh calon peserta pilkada harus diawasi agar tidak melakukan pengerahan sumber dana politik yang di kemudian hari bisa menjerat mereka dalam lingkaran setan korupsi politik sebagai akibat dari 'utang-utang politik' semasa mengikuti kontes pilkada.
Pendanaan pilkada yang selama ini dipergunakan pada umumnya mengalir dari sumber anggaran pemerintah/pemerintah daerah (APBN/D) atau dari sumber nonpemerintah (sumbangan kampanye dari sektor privat).
Selama ini, pengawasan atas penggunaan pendanaan pilkada dari sumber nonpemerintah cenderung lebih sulit untuk dipantau KPUD dan Panwaslu.
Akibatnya, di kemudian hari, saat sang calon telah terpilih menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah, mobilisasi pendanaan pilkada untuk menopang pencalonan kepala daerah tersebutlah yang menjadi 'bom waktu'.
Yang menyebabkan kepala daerah di berbagai daerah terjerat berbagai kasus hukum ialah 'utang-utang politik' semasa mengikuti pilkada.
Di titik itulah, pembangunan budaya pilkada bersih, baik di kalangan masyarakat maupun di kalangan para elite lokal yang berkontestasi dalam pilkada serentak, perlu dilakukan.
Pasal 74 ayat (1) UU Pilkada 2015 telah menggariskan dana kampanye pasangan calon yang diusulkan partai politik atau gabungan partai politik dapat diperoleh dari sumbangan partai politik dan/atau gabungan partai politik yang mengusulkan pasangan calon dan/atau sumbangan pihak lain yang tidak mengikat yang meliputi sumbangan perseorangan dan/atau badan hukum swasta.
Pengaturan semacam itu sebenarnya tak berbeda dengan pengaturan dalam UU Pemda 2008 dan terbukti tak begitu efektif untuk mencegah potensi terjadinya 'utang-utang politik' yang di kemudian hari menjerat para kepala daerah.
Terbukti, sampai saat ini, masih terus terjadi para kepala daerah yang menjadi tersangka, terdakwa, dan terpidana dalam berbagai kasus korupsi yang ditangani para penegak hukum.
Ketentuan yang kini diatur dalam Pasal 74 ayat (5) dan (6) mengenai limitasi sumbangan dana kampanye, yaitu bagi penyumbang perorangan dibatasi tak boleh melebihi Rp50 juta dan penyumbang badan hukum swasta tak boleh melampaui Rp500 juta, masih dinilai tak memadai untuk menangkal aliran dana kampanye yang di kemudian hari bisa menyeret para kepala daerah dalam lingkaran setan korupsi politik.
Diperlukan adanya terobosan bagi KPU dan Bawaslu untuk mengembangkan sistem pengawasan yang lebih memadai agar terbangun sistem pendanaan kampanye yang lebih transparan dan akuntabel serta mencegah aliran money politics ke tangan para calon pemilih.
UU Pilkada dan Peraturan KPU terkait harus dapat dijadikan sebagai pintu masuk untuk membangun kultur politik baru yang mampu membangun sistem pilkada yang lebih bersifat fairness dan bersih.
Dalam pelaksanaan pilkada sebelumnya, masih amat sulit untuk menumbuhkan kultur pilkada bersih tersebut mengingat hampir seluruh kontestan di berbagai daerah tetap sulit untuk mengelakkan penggunaan money politics dalam berbagai bentuk untuk menangguk suara pemilih.
Meskipun sanksi-sanksi bagi penggunaan money politics dan pelanggaran peraturan mengenai pendanaan kampanye tergolong cukup berat, yaitu yang tersebar dalam berbagai ketentuan dalam UU Pilkada sebagai bentuk tindak pidana pemilu, terlihat masih tak cukup majas untuk menangkal terjadinya praktik-praktik money politics dan penyimpangan dalam pendanaan kampanye.
Bisa jadi hal tersebut disebabkan adanya keterbatasan kapasitas aparat penegak hukum dalam mengawasi dan kelemahan sistem pengawasan yang dikembangkan KPUD dan Panwaslu.
Dengan dilaksanakan pilkada secara serentak kali ini, seharusnya potensi praktik-praktik kontes dalam pilkada yang unfair dan tak demokratis bisa dieliminasi.
Sentra penegakan hukum terpadu yang menjadi amanah dalam UU Pilkada 2015 harus dapat difungsikan sebagai metode pengawasan yang lebih fleksibel dan efektif tanpa terikat pada batasan-batasan struktur birokrasi institusi penegak hukum agar lebih efektif dalam melakukan deteksi dini terhadap potensi penyimpangan dalam pelaksanaan pilkada.
Di sisi lain, para kontestan perlu menyadari betapa 'berdarah-darahnya' perjuangan pemerintah, para wakil rakyat, dan elemen-elemen demokrasi dalam mempertahankan komitmen reformasi untuk melanjutkan sistem demokrasi langsung melalui pilkada.
Mari membuktikan bahwa demokrasi langsung tak identik dengan maraknya money politics dan para kepala daerah yang berujung di jeruji besi pascahingar-bingar pesta demokrasi!
ADM
W Riawan Tjandra, Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta dan Alumnus Doktor Ilmu Hukum UGM
Sumber: