JAKARTA, GRESNEWS.COM – Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015 yang diketok pada Kamis (9/7) lalu, menjadi berkah tersendiri bagi Soemarmo Hadi Saputro. Putusan MK tersebut mengabulkan permohonan agar Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah dibatalkan.
Pasal tersebut memuat ketentuan bahwa mantan narapidana dilarang ikut pilkada. Lewat adanya putusan MK itulah, Soemarmo yang mantan terpidana kasus suap penyusunan RAPBD Kota Semarang tahun 2012 lalu bisa mendaftar kembali untuk menjadi calon Walikota Semarang pada tahun ini.
Soemarmo sempat dipenjara di LP Cipinang sejak akhir Maret 2012. Pada tahap Peninjauan Kembali, Soemarmo divonis 2,5 tahun dalam kasus yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi itu.
Kini, setelah bebas dari penjara, dia kembali maju bersama Zubair Safawi sebagai bakal calon Wakil Walikota Semarang. Pasangan tersebut diusung koalisi dua partai yaitu Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Keadilan Sejahtera.
Dalam proses pendaftaran di KPUD Semarang, Soemarmo mengatakan dari banyak berkas yang dibawanya masih ada beberapa yang kurang dan akan segera dipenuhi. "Ada tiga berkas yang kurang, Pak Zubair tujuh. Akan kami penuhi dalam waktu dekat," kata Soemarmo usai mendaftarkan diri, Minggu (26/7) kemarin.
Orang-orang seperti Soemarmo memang kini tak punya hambatan lagi untuk bisa mendaftar sebagai calon kepala daerah dalam pilkada pasca putusan MK tersebut. Meski, putusan MK yang membolehkan mantan narapidana mendaftar ikut pilkada ini memang banyak disesalkan. Namun MK sendiri dalam putusannya memiliki beberapa pertimbangan hukum.
Pasal 7 huruf g UU 8 tahun 2015 menentukan bahwa calon kepala daerah adalah yang tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih. Menurut MK ketentuan tersebut merupakan bentuk pengurangan hak atas kehormatan, yang dapat dipersamakan dengan pidana pencabutan hak-hak tertentu.
"Ketika Pasal 7 huruf g UU nomor 8 tahun 2015 menentukan bahwa calon kepala daerah harus memenuhi persyaratan tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, maka sama artinya seseorang yang pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, dicabut haknya untuk dipilih dalam pemilihan kepala daerah," bunyi putusan MK tersebut.
Hal ini, menurut MK, sebangun dengan ketentuan Pasal 35 Ayat (1) angka 3 KUHP yang menyebut bahwa terpidana dapat dicabut hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum. Perbedaannya adalah, jika hak dipilih sebagai kepala daerah yang dicabut berdasarkan Pasal 7 huruf g UU 8/2015 dilakukan oleh pembentuk undang-undang, sedangkan hak-hak dipilih yang dicabut dari terpidana berdasarkan Pasal 35 Ayat (1) angka 3 KUHP dilakukan dengan putusan hakim.
"Dengan demikian, pencabutan hak pilih seseorang hanya dapat dilakukan dengan putusan hakim sebagai hukuman tambahan. Undang-Undang tidak dapat mencabut hak pilih seseorang, melainkan hanya memberi pembatasan-pembatasan yang tidak bertentangan dengan UUD 1945," bunyi putusan Mahkamah Konstitusi.
Sementara dalam pembukaan UUD 1945 antara lain menegaskan bahwa dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indoensia. Pembukaan UUD 1945 tersebut tidaklah membedakan bangsa Indonesia yang mana dan tentunya termasuk melindungi hak mantan narapidana.
Selain itu, MK juga memberikan semacam "jaring pengaman" bagi para pemilih dimana para mantan narapidana yang boleh mencalonkan diri itu, harus mengumumkan secara terbuka bahwa pernah menjadi terpidana. Setelah mengumumkan pernah menjadi terpidana, maka berpulang ke masyarakat untuk memilih dia atau tidak.
PEMBUAT UU LUPUT PERTIMBANGKAN ASPEK HAM? - Dari putusan MK di atas, muncul pertanyaan apakah pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) luput mempertimbangkan aspek hak asasi manusia dalam norma tersebut? Ketua Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Veri Junaidi mengatakan norma mengenai larangan mantan narapidana untuk mencalonkan diri dalam pilkada mulanya terdapat dalam Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Menurut pengamatannya, yang menjadi tujuan dari norma tersebut adalah untuk menjaring atau menyaring agar yang mengikuti pilkada adalah orang yang benar-benar baik. "Baik dalam artian dibuktikan dengan dia tidak pernah dijatuhi pidana dengan sanksi 5 tahun. Itu salah satu saringan awal yang coba disusun oleh pembuat UU agar mereka yang terpilih sebagai kepala daerah memang dari seorang yang tidak hanya memiliki kapasitas tapi juga integritas yang baik," ujar Veri kepada gresnews.com, Senin (27/7).
Dia mencontohkan, ketika seseorang pernah melakukan tindak pidana korupsi dan yang bersangkutan telah menebus kesalahannya melalui proses pidana, tetapi selama yang bersangkutan memegang jabatannya sudah bisa dilihat tidak memegang amanah dengan baik. "Sehingga bagaimana mungkin orang yang demikian masih diberikan kesempatan sebagai kepala daerah?" kata Veri.
Selanjutnya, jika dilihat dari hak sipil politik, maka mantan narapidana masih memiliki hak untuk memilih dan dipilih. Apalagi kesalahannya sudah ditebus melalui pemidanaan. Kecuali kalau memang ada putusan pengadilan yang mencabut hak politik yang bersangkutan.
Dari sisi pandang ini, Veri menilai, putusan MK itu memang merupakan suatu hal yang dilematis sebab menyangkut hak sipil politik seseorang. Padahal dari sisi lain juga terkait dengan hak publik untuk mendapatkan calon kepala daerah dan kandidat yang terbaik.
Sebelumnya di tahun 2008 MK juga pernah membuat putusan serupa untuk pemilihan Bupati Bengkulu Selatan. Pemohon saat itu, Dirwan Mahmud yang menjadi mantan narapidana, meminta dibolehkan menjadi calon dalam pilkada karena merasa sudah menjalani hukuman untuk menebus kesalahannya.
"Alasan itu yang kemudian melandasi putusan MK bahwa mereka yang dipidana dengan tuntutan lima tahun boleh ikut dalam pilkada dengan syarat menunggu periode berikutnya, mengumumkan ke publik dan sebagainya," lanjut Veri.
Veri menjelaskan para pemohon norma ini berargumentasi perlunya norma dibatalkan diantaranya karena mereka sudah mendapatkan sanksi pidana. Argumentasi lainnya karena perlu untuk membebaskan pemilih yang menyaring atau menentukan pilihannya sendiri dalam pilkada apakah mantan narapidana yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah masih layak atau tidak.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Gerindra Ahmad Riza Patria mengatakan untuk membangun peradaban dan bangsa, pemerintah bersama DPR harus membuat regulasi. Regulasi dibuat dalam rangka percepatan pembangunan sebagai payung hukum. Untuk itu, regulasi yang dibuat harus berpihak pada masyarakat khususnya yang masih miskin, bodoh, dan lemah.
"Tidak boleh regulasi berpihak sama rata. Sebab kalau sama rata menjadi tidak adil. Begitu juga untuk UU Pilkada, pemerintah harus berpihak," ujar Riza kepada gresnews.com, Senin (27/7).
Menurutnya, UU Pilkada ditujukan agar mendapatkan kepala daerah terpilih yang berkualitas, baik, dan dapat memajukan daerah serta menyejahterakan rakyatnya. Untuk mencapai hal tersebut tentu harus mendapatkan calon yang baik. "Sehingga harus dibuat syarat bagi calon kepala daerah," ujarnya.
Dalam UU syarat tersebut harus dibuat secara spesifik diantaranya kandidat yang baik moralnya. "Ukuran baik secara moral misalnya tidak menggunakan narkoba, sehat jasmani rohani, dan tidak pernah dihukum atau menjadi terpidana," urai Riza.
Dia menjelaskan tujuan norma tersebut adalah untuk mencari pemimpin yang berkualitas melalui seleksi. Kalau kembali pada HAM ia mengakui memang seakan-akan ada pembedaan bagi mantan narapidana untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Tapi ia beralasan pembuat UU harus berpihak. Sebab ia menilai masyarakat masih berproses dalam hal pendidikan sebagai pemilih.
Dalam waktu 10 tahun ke depan Riza memprediksi masyarakat mungkin bisa dibebaskan untuk memilih siapa saja kandidat kepala daerah misalnya apakah kandidat kepala daerah pernah mengkonsumsi narkoba, mantan narapidana, atau pernah membunuh orang. Tapi hal tersebut menurutnya belum bisa diterapkan untuk kondisi masyarakat saat ini, sehingga masih membutuhkan waktu dan proses.
"Pemilih kita kan masih paternalistik, masih feodal. Kalau masyarakat sudah semakin cerdas saya setuju ada norma tersebut. Jadi tidak penting lagi latar belakang kandidat kepala daerah, mau dari suku manapun atau sekolah dimana, saya setuju. Tapi belum bisa seperti itu. Jadi pemerintah harus berpihak. Keberpihakan itu harus dituangkan dalam instrumen yang namanya UU," ujar Riza.
KHAWATIR MASYARAKAT PERMISIF PADA KEJAHATAN - Sosiolog Universitas Gadjah Mada Sunyoto Usman menilai, dampak dari putusan ini bisa memunculkan dua kemungkinan. Pertama masyarakat bisa saja menjadi kritis terhadap calon kepala daerah yang berstatus sebagai mantan narapidana. Misalnya, masyarakat jadi berpikir dan enggan memilih seorang mantan narapidana atau seorang yang pernah membuat keonaran atau perkara sebagai kepala daerah.
Kedua, adalah sebaliknya, bisa juga masa bodoh. Ketika mobilisasi dukungan digerakkan dengan uang. Sehingga masyarakat pemilih tidak peduli apakah kandidat seorang setan atau malaikat lantaran yang dilihat hanya uangnya.
"Karena itu perlu diberi pendidikan pemilih agar bisa tetap berpikir jernih dan hati-hati dengan tawaran uang saat pilkada," ujar Sunyoto kepada gresnews.com dalam kesempatan yang berbeda.
Terkait hal ini, Veri Junaidi menilai, putusan MK ini jelas berbahaya ketika pendidikan politik belum baik, namun masyarakat diberikan kebebasan memilih. Konsekuensinya, jika pemilih cukup cerdas, maka kepada daerah akan tersaring dengan baik.
Celakanya jika fenomena politik uang yang dominan, atau ada kecurangan dan pelanggaran yang bisa memanipulasi suara pemilih, disinilah efek negatif tadi muncul. Dalam kondisi semacam ini, seorang terpidana bisa menjadi kepala daerah. Di sinilah dikhawatirkan, masyarakat menjadi permisif terhadap kejahatan.
"Tentu akan membuat orang lebih permisif karena tidak menjadi persoalan jika mereka melakukan kesalahan lalu dikenai sanksi, ya jalani saja sanksi pidananya. Dan kemudian hak politiknya akan kembali pulih dan bisa menjadi kepala daerah lagi. Tapi ini menjadi persoalan," jelasnya.
Menurutnya putusan MK yang mencantumkan empat syarat bagi kepala daerah yang pernah menjadi mantan narapidana lebih tepat dibandingkan putusan saat ini. Sebab tidak menghilangkan hak warga negara tapi ada batasan-batasan yang dipenuhi.
"Kalau saat ini berdasarkan putusan MK tidak ada syarat apapun. Kecuali yang bersangkutan jujur dan terbuka pada publik. Tapi lagi-lagi indikator jujur dan terbuka dianggapnya tidak jelas," katanya.
Menyambung Veri, Riza Patria menjelaskan, pembatalan norma tersebut mengakibatkan tidak adanya pembelajaran bagi orang yang pernah menggunakan narkoba maupun mantan narapidana lainnya terutama kasus korupsi. Lagipula mantan narapidana menurutnya tidak ditutup seluruhnya haknya tapi diatur bahwa setelah lima tahun bisa mencalonkan diri dalam pilkada.
Norma yang dibatalkan MK menurutnya ditujukan untuk membuat sistem yang baik dengan mengikuti perkembangan masyarakatnya. "Saat ini masyarakat belum terlalu cerdas dan masih banyak yang tidak menggunakan hak pilih atau memilih pemilih berdasarkan alasan paternalistik maupun ikut-ikutan serta alasan feodal lainnya," pungkas Riza. (dtc)
Sumber: http://www.gresnews.com/berita/hukum/210277-dilema-mantan-narapidana-boleh-ikut-pilkada/2/