detikNews - Jakarta, Soemarmo Hadi Saputro menjadi orang pertama yang mendaftar sebagai bakal calon sebagai Wali Kota Semarang. Soemarmo yang sebelumnya menduduki jabatan yang sama itu pernah tersandung kasus korupsi.
Namun status mantan narapidana tak menyurutkan langkah Soemarmo untuk kembali bertarung merebutkan posisi orang nomor satu di Semarang itu. Soemarmo didampingi Zubair Safawi sebagai bakal calon wali kota Semarang.
Pasangan tersebut diusung oleh koalisi dua partai yaitu Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Keadilan Sejahtera. Soemarmo mengatakan dari banyak berkas yang dibawanya masih ada beberapa yang kurang dan akan segera dipenuhi.
"Ada tiga berkas yang kurang, Pak Zubair tujuh. Akan kami penuhi dalam waktu dekat," kata Soemarmo usai mendaftarkan diri, Minggu (26/7/2015) kemarin.
Soemarmo sendiri sebenarnya pernah terpilih menjadi Wali Kota Semarang periode 2010-2015 ketika berpasangan dengan Hendrar Prihadi. Namun ia diberhentikan sementara oleh Mendagri tahun 2012 karena terjerat kasus suap RAPBD Kota Semarang yang disidik KPK.
Sempat ditahan di LP Cipinang sejak akhir Maret 2012. Pada tahap Peninjauan Kembali, Soemarmo divonis 2,5 tahun. Sedangkan tongkat pemerintahan berpindah ke wakilnya, Hendrar Prihadi.
Dihimpun detikcom pada Senin (27/7/2015), berdasarkan aturan yang berlaku, status Soemarmo sebagai mantan narapidana itu memang tidak menghalanginya mengikuti pemilihan kepala daerah. Merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 42/PUU-XIII/2015 yang keluar sejak Kamis (9/7/2015) lalu, MK mengabulkan permohonan agar pasal 7 huruf g Undang-undang nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah dibatalkan. Pasal tersebut memuat ketentuan bahwa mantan narapidana dilarang ikut pilkada.
Dalam putusannya MK menyatakan bahwa pasal 7 huruf g UU Pilkada tersebut bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. MK juga menilai bahwa pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
"Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana," bunyi putusan MK seperti dikutip detikcom.
Permohonan judicial review pasal 7 huruf g diajukan oleh Jumanto warga Dusun Siyem, RT 01 RW 04, Desa Sogaan, Pakuniran, Probolinggo; dan Fathor Rasyid warga Kloposepuluh RT. 020 RW. 005, Desa Kloposepuluh, Sukodono, Sidoarjo.
Bertindak selaku pengacara pemohon adalah Yusril Ihza Mahendra. Menurut pemohon bahwa antara masyarakat biasa dan mantan narapidana haknya sama dalam pembangunan bangsa Indonesia. Mantan narapidana adalah warga negara yang telah menjalani hukuman berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dan telah kembali ke masyarakat untuk menjadi warga yang bebas dan merdeka.
"Semua warga negara dengan itu dapat turut serta dalam kegiatan pembangunan salah satunya dengan menjadi kepala daerah (gubernur, bupati, dan walikota)," kata Jumanto dan Fathor dalam argumentasi yuridis permohonannya.
Dengan demikian, tulis pemohon, aturan yang membatasi hak-hak terpidana dalam Pasal 7 huruf g dan Pasal 45 ayat (2) huruf k UU Nomor 8 Tahun 2015 nyata-nyata bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945. (dhn)