Pada era kepemimpinan B.J. Habibie dan Gus Dur, Pasal 134 dan 136 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang lebih dikenal sebagai pasal karet atau pasal hak haatzai artikelen itu, tak pernah diterapkan. Habibie justru pernah mengatakan bahwa suatu hujatan terhadap kepala negara merupakan bagian dari bentuk kemerdekaan berpendapat dan berekspresi dalam kehidupan berdemokrasi.
Hal ini diungkapkan oleh Prof. Mardjono Reksodiputro, Ahli yang dipanggil oleh Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memberikan pendapat pada sidang pleno pengujian Pasal 134 dan 136 bis KUHP yang diajukan Dr. Eggi Sudjana, S.H., M.Si., dengan kuasa hukum Firman Wijaya, S.H., dkk pada hari Selasa, 10 Oktober 2006 pukul 10.00 WIB di ruang sidang Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat.
Jika kemerdekaan berbicara itu bisa menimbulkan kerusakan di masyarakat, maka hal itu bisa dipidanakan. Penghinaan itu harusnya bersifat pribadi, kata Mardjono, satu-satunya ahli yang bisa datang. Sedangkan dua ahli lainnya, Prof. Dr. Andi Hamzah, SH dan Prof. Dr. Muladi, SH tidak dapat hadir karena berada di luar negeri.
Lebih lanjut, Mardjono menjelaskan bahwa Pasal 134 pada awalnya merupakan ketentuan untuk melindungi martabat raja (royal dignity), yang kemudian dalam konteks Indonesia, diubah menjadi presiden (presidential dignity). Yang menjadi pertanyaan lebih lanjut, masih relevankah (aturan ini) dalam kehidupan republik ini? tambah Mardjono.
Sedangkan, terhadap batu uji Pasal 28F UUD 1945, menurut interpretasi Mardjono, freedom of information diartikan bahwa warga negara berhak untuk memperoleh dan menyampaikan informasi. Warga negara berhak meminta agar pemerintah bersedia memberikan informasi secara lengkap dan terbuka. Ini merupakan wujud kontrol masyarakat terhadap pemerintah.
Apakah penghinaan terhadap Presiden ini bisa disamakan dengan penghinaan terhadap persidangan, contempt of court. Artinya penghinaan terhadap suatu lembaga? tanya I Dewa Gede Palguna, SH, MH, anggota Majelis Hakim Konstitusi.
Menjawab pertanyaan itu, Mardjono menjelaskan bahwa dirinya tidak mempunyai interpretasi lain selain maksud penghinaan itu ditujukan kepada Presiden sebagai pribadi. Jadi, seharusnya penghinaan presiden ini masuk dalam kategori pencemaran nama baik.
Dalam sidang kali ini, Ketua Majelis Hakim Konstitusi Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH menganggap keterangan ahli sudah cukup. Sebelum ada kesepakatan dari Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), Majelis Hakim Konstitusi merasa belum perlu mengundang pemerintah dan DPR untuk dimintai keterangan, mengingat KUHP yang berlaku saat ini telah berusia sangat tua. Perumusannya jauh sebelum para legislator sekarang terbentuk.
Bila nanti rapat (RPH) menyimpulkan proses persidangan ini sudah cukup, kemungkinan persidangan berikutnya adalah pembacaan putusan. Saya minta Pemohon bersiap-siap. Tapi sebelumnya akan ada pembacaan kesimpulan tertulis dari pemohon, Jelas Jimly sebelum mengakhiri persidangan. (Wiwik BW)