Pemerintah menegaskan permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen) tidak tepat diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pemerintah menilai persoalan yang dihadapi Pemohon terkait implementasi norma, bukan pertentangan norma dengan Konstitusi.
Diwakili Direktur Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen Kementerian Perdagangan, Widodo, Pemerintah menyatakan permasalahan yang dihadapi para Pemohon, yaitu terkait kasus malpraktik dapat diajukan ke peradilan umum.
“Dengan demikian, terhadap permohonan Para Pemohon terkait penambahan frasa ‘serta nama dan domisili pelaku usaha yang bertanggung jawab’ pada pasal a quo adalah kabur,” ujar Widodo dalam sidang perkara nomor 65/PUU-XIII/2015 yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat, Senin (27/7).
Lebih lanjut, Pemerintah menjelaskan, tanggung jawab pelaku usaha sebenarnya telah diatur dalam ketentuan Pasal 8 sampai dengan Pasal 19 UU Perlindungan Konsumen, baik secara langsung maupun tidak langsung. Apabila tanggung jawab tersebut tidak dilaksanakan oleh pelaku usaha, maka pelaku usaha tersebut dapat dikenakan sanksi, baik itu sanksi administratif maupun sanksi pidana.
Pemerintah berpendapat, persoalan tidak dicantumkannya nama dan domisili lengkap badan hukum atau pelaku usaha yang bertanggung jawab atas barang dan/atau jasa bukan merupakan masalah konstitusionalitas keberlakuan norma, melainkan masalah dalam penerapan norma tersebut. “Pasal a quo tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Oleh karena itu, tidak diperlukan penambahan frasa sebagaimana dimohonkan para Pemohon,” tegasnya.
Dalam keterangannya, Pemerintah juga berpendapat para Pemohon tidak dapat menjelaskan secara jelas hubungan antara hak konstitusional yang dirugikannya dengan berlakunya ketentuan a quo yang mengatur tentang hak konsumen untuk memperoleh informasi. Pemerintah menilai dengan adanya ketentuan a quo, justru Pemerintah telah memberikan perlindungan kepada konsumen untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur dari pelaku usaha.
“Anggapan para Pemohon bukan merupakan masalah konstitusionalitas keberlakuan norma terhadap batu ujinya melainkan masalah penerapan norma yang ditafsirkan berbeda oleh Para Pemohon. Oleh karena itu, menurut Pemerintah adalah tepat jika Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” jelasnya.
Menanggapi keterangan Pemerintah, Hakim Konstitusi Suhartoyo sempat mempertanyakan eksistensi UU Perlindungan Konsumen yang belum sepenuhnya melindungi konsumen sebagai pengguna barang dan jasa. Sebagai contoh dalam Pasal 8 ayat (1) huruf i UU Perlindungan Konsumen yang hanya mewajibkan pelaku usaha untuk mencantumkan alamat usaha. Padahal satu perusahaan bisa saja memiliki cabang usaha di tempat berbeda. Hal tersebut dinilai dapat menimbulkan persoalan.
“Itu menimbulkan persoalan yang besar ketika masyarakat belum memahami, di mana sih harus mengajukan tuntutan kerugian? Misalnya ada perbuatan nonhukum yang dilakukan oleh penyedia jasa, orang tahunya hanya di rumah sakit atau kantor di mana mereka melakukan transaksi. Tapi ketika mereka mengajukan komplain ke pengadilan, ternyata badan hukumnya tidak ada di situ. Sebenarnya persoalannya ada di situ yang esensial,” jelas Suhartoyo.
Suhartoyo menambahkan, mestinya Pemerintah dan DPR tidak ada yang keberatan untuk memperjelas norma dalam UU Perlindungan Konsumen yang masih belum tegas. “Mestinya harus ada penjelasan badan hukumnya di mana? Itu yang dimaui oleh para Pemohon dan saya kira juga para konsumen yang lainnya yang selama ini juga kesulitan mencari alamat di mana harus mengajukan komplain itu,” imbuhnya.
Sebelumnya, tiga orang warga negara, Samuel Bonaparte, Ridha Sjartina, dan Satrio Laskoro menguji ketentuan Pasal 4 huruf c dan Pasal 7 huruf b UU Perlindungan Konsumen. Samuel sebagai Pemohon I menyatakan Pasal 4 huruf c terkait hak para konsumen tidak mencantumkan hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang benar dan lengkap atas nama badan hukum dan domisili badan hukum dari produk barang dan atau jasa yang dibeli. Hal tersebut dapat merugikannya sebagai konsumen.
Pasal 4 huruf c:
“Hak Konsumen adalah: c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/ atau jasa”
Pasal 7 huruf b:
“Kewajiban Pelaku usaha adalah: b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan”
“Sebagai contoh, apabila naik pesawat atau kita ke rumah sakit, kita tidak tahu nama badan hukumnya, kita tidak tahu siapa yang bertanggung jawab atas produk barang dan atau jasanya. Apabila ada kerugian, apabila ada sengketa, seorang konsumen akan sangat sulit untuk melakukan gugatan,” jelasnya pada sidang perdana.
Samuel sendiri mengalami kerugian konkret ketika terjadi malpraktik terhadap anaknya pada suatu rumah sakit. Namun, dalam persidangan, pihak rumah sakit menggunakan eksepsi error in persona karena adanya badan hukum yang berbeda sebagai penanggung jawab kesalahan tersebut. Akan tetapi, Samuel tidak pernah mengetahui badan hukum mana yang dimaksud.
Oleh karena itu, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 4 huruf c dan Pasal 7 huruf b UU Perlindungan Konsumen bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang tidak dimaknai frasa “termasuk hak atas informasi atas nama dan domisili lengkap badan usaha yang bertanggung jawab terhadap barang/ atau jasa yang diproduksi dan/ atau dijual”. (Lulu Hanifah)