Sidang perdana pengujian Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN), digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (27/7) siang. Pemohon adalah Demmy Pattikawa sebagai pihak yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh PT. Pertamina (Persero) pada 1983.
Di hadapan majelis panel yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo, Pemohon menceritakan duduk persoalan yang melatarbelakangi permohonannya. Pemohon menjelaskan, pemberhentian dirinya sebagai pegawai Pertamina didasarkan pada Surat Keputusan Pimpinan Unit PT. Pertamina (Persero) Cirebon No. kpts-042/D3000/83-B1 yang mana surat tersebut tidak dibubuhi tanda tangan pegawai yang berwenang dan tanpa alasan yang jelas.
Pemohon sudah menempuh langkah penyelesaian secara kekeluargaan dengan mengirimkan surat kepada PT Pertamina, namun tidak pernah mendapatkan jawaban yang layak. Saat ini Pemohon ingin memperjuangkan haknya dengan melakukan gugatan PTUN karena pada saat itu PT. Pertamina (Persero) yang dahulu bernama PT. Permina merupakan perusahaan pemerintah. Permasalahan pemutusan hubungan kerja tersebut menurut Pemohon juga termasuk dalam sengketa kepegawaian.
Saat peristiwa PHK tersebut terjadi, Pemohon tidak dapat memperjuangkan haknya karena pada masa itu hak asasi manusia kurang diperhatikan. Menurutnya, tidak ada rakyat biasa yang leluasa bisa dan berani melawan keputusan dari PT. Pertamina (Persero) yang dimiliki sepenuhnya oleh Pemerintah, sehingga Pemohon beranggapan hal ini bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.
Namun saat ini, keinginan Pemohon tersebut terhalang dengan adanya ketentuan Pasal 55 UU PTUN. Pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya pasal dimaksud, karena pengaturan tentang tenggang waktu telah menghalangi upaya Pemohon untuk dapat memperjuangkan haknya. Pasal 55 UU No. 5/1986 menyebutkan, “Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.”
Untuk itu, dalam petitumnya Pemohon mengajukan beberapa permintaan kepada Majelis antara lain agar Pasal 55 UU PTUN dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. Selain itu, pemohon juga meminta agar Majelis memberikan definisi hukum dari pengecualian tenggat waktu dalam Pasal 55 UU PTUN dan menetapkan agar Pengadilan Tata Usaha Negara tidak menolak ketika Ia mengajukan gugatannya.
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul mengatakan bahwa permohonan Pemohon sudah cukup memberikan gambaran terhadap apa yang diinginkan Pemohon.
“Namun ada hal-hal perlu diperbaiki Pemohon, antara lain mengenai surat keputusan tidak ditanda tangani pegawai yang berwenang. Pegawai yang berwenang maksudnya Pemohon atau pejabat? Ini perlu diperjelas oleh Pemohon,” tambah Manahan, dalam sidang perdana perkara yang teregistrasi dengan No. 76/PUU-XIII/2015 ini.
Sementara itu Hakim Konstitusi Patrialis Akbar menilai ada kesan bahwa Pemohon meminta agar MK menjadi pembuat undang-undang atau positive legislator. “Padahal Mahkamah Konstitusi hanya berwenang menguji norma bertentangan atau tidak dengan Undang-Undang Dasar,” ucap Patrialis.
Sedangkan Hakim Konstitusi Suhartoyo lebih menyoroti petitum Pemohon, agar Pemohon lebih memperjelas petitumnya. “Misalnya Pasal 55 UU PTUN, kalau menurut Bapak bertentangan dengan UUD, sebutkan di situ. Kemudian disebutkan juga bahwa Pasal 55 tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Hanya itu Pak yang mestinya Bapak sampaikan ke Mahkamah, tidak perlu menambah hal-hal lainnya,” ujar Suhartoyo.
Kalau soal lain, lanjut Suhartoyo, seperti memerintah PTUN menolak, memberikan pembuktian, serta meminta agar biaya sidang dibebankan kepada Pertamina dan sebagainya, hal itu semua bukan menjadi kelaziman dimasukkan ke dalam petitum. “Di samping tidak lazim, juga tidak mungkin dipertimbangkan oleh Mahkamah,” tandas Suhartoyo. (Nano Tresna Arfana)