Alasan subyektif penahanan sebagaimana tercantum dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), khususnya frasa: dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran, justru dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum, cenderung tebang pilih atau diskriminatif, dan dapat menjurus pada kesewenang-wenangan.
Pendapat di atas dikemukakan oleh KG. Widjaja, SH, MH, kuasa hukum Pemohon Mayor Jenderal (Purn) TNI Suwarna AF, Gubernur Provinsi Kalimantan Timur, pada persidangan pemeriksaan pendahuluan (pasca perbaikan permohonan) Pasal 21 ayat (1) KUHAP terhadap UUD 1945 yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada hari Senin 09 Oktober 2006 pukul 10.00 WIB di ruang sidang gedung MK, Jl. Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat.
Pada persidangan sebelumnya, Pemohon menjelaskan bahwa dirinya telah ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga telah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 atau Pasal 56 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP, dalam pelaksanaan Program Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit Sejuta Hektar di Kalimantan Timur yang diikuti dengan Penerbitan Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) pada tahun 1999-2002. Alasan penahanan oleh KPK, salah satunya, bahwa tersangka dikhawatirkan akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.
Mengenai alasan penahanan, Pemohon telah mengajukan praperadilan untuk memeriksa dan memutus apakah cukup ada alasan yang konkrit dan nyata yang dapat menimbulkan kekhawatiran bagi penyidik sebagaimana tersebut di atas. Kasus itu kemudian diperiksa secara marathon oleh Hakim Kreshna Menon, SH pada tanggal 20 26 Juli 2006. Keputusannya, permohonan Pemohon tersebut ditolak dengan alasan yang bersifat formal, bahwa telah terdapat surat perintah penahanan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
Berdasarkan putusan tersebut, Pemohon berpendapat bahwa Hakim Kreshna Menon, SH telah keliru menafsirkan Pasal 21 ayat (1) KUHAP karena pasal tersebut tidak cukup jelas perumusannya dan juga tidak mendapat penjelasan yang sempurna sesuai dengan konsep-konsep hukum yang berlaku di negara-negara yang beradab yang mempergunakan asas praduga tak bersalah sebagai asas utama.
Maka, dalam persidangan kemarin, Widjaja menjelaskan bahwa seharusnya suatu penahanan bisa dilakukan apabila terdapat alat bukti yang cukup kuat, bukan berdasarkan kekhawatiran. Biarkanlah hakim di praperadilan yang nantinya, secara obyektif, akan memutus apakah seseorang itu bisa ditahan atau tidak, berdasarkan bukti-bukti yang ada, jelas Widjaja.
Meski oleh Ketua Hakim Panel Dr. H. Harjono, SH, MCL diterangkan pula bahwa hakim praperadilan tidak memeriksa bukti materiil melainkan bukti formil seperti surat penahanan, Widjaja tetap bersikeras bahwa bila nantinya permohonan untuk membatalkan berlakunya frasa: melakukan tindak pidana dan frasa: dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran dikabulkan, maka, ke depan, proses penahan terhadap tersangka nantinya akan lebih mementingkan pada ada-tidaknya bukti-bukti materiil, dan tidak lagi berlandaskan pada kekhawatiran penyidik semata.
Dengan dipenuhinya prosedur dan syarat permohonan Pemohon, persidangan berikutnya akan mengagendakan pada pemeriksaan substansi perkara. (Wiwik BW)